Tuesday, November 29, 2005

Gue Berpuisi, euy!

Aiiiih.... Bikin puisi!

Puisi bikinan gue kan katro semua. Nggak ada yg tau sih emang. Soalnya nyaris gak pernah gue tunjukin siapa2. Abis malu2in. Kalo gue nemu kertas2 coretan puisi gue jaman kuliah, gue mbacanya akan diam2. Takut ketauan. Coba deh, se-ekspresif mungkin ucapkan kata "Apa siiiiiiiiiiiiiiiiih????" . Naaah! Itu dia ekspresi gue kalo abis baca puisi bikinan gue sendiri.

Tapi gue HARUS berpuisi. Soalnya gue kudu nulis naskah yang salah satu karakternya adalah cowok penulis puisi (belom.... belom sampe seniman!). Naskah ini diangkat dari ketak ketiknya Ucup si pensuplai ide. Judulnya "Jangan Bilang Siapa-Siapa". Ceritanya tentang tiga sahabat (cowok) yang saking udah lama bener pacaran (masing2 pacaran sama cewek - jadi bukan homo), nekat ngetes "kesaktian" mereka ndeketin cewek-cewek lain.

Tokoh pecinta puisi di cerita itu namanya Evan. Karakternya romantis dan bukan pemberontak. Sama banget deh ama gue (hihihi). Berhubung dikejar deadline dan kudu cepet, gue pun menghayal mati-matian (sumpah, biasanya untuk menghayal gue nggak perlu usaha keras). Menghayalnya sambil nelangsa... susahnya bikin puisi cinta kalo lagi nggak punya pacar (oh, itu nelangsa yang lain yah?). Hiks, hiks, hiks. Tapi untungnya, dalam waktu singkat, terciptalah beberapa puisi. Uaaaah, lega.

OK. Gue paste puisi2-nya Evan itu. Jangan bilang siapa-siapa, kalo gue merasa puisi gue itu tetep katro, meski kata Mas Produser syairnya cute.


Puisi di bawah ini dibuat Evan untuk lirik lagu band-nya Aldo (sobatnya).


Kamu tahu aku tahu
Kamu mencintaiku dalam bisu
Keluarlah dan katakan
Aku siap mendengarkan
Karena sudah seribu kali kuucapkan
tapi ku hanya mendapat jawaban
dalam tatapan, dan senyuman


Puisi di bawah ini dibuat Evan untuk pacarnya, si lembut Clara.

Tak cukup kata cinta bisa kuucap
Pada gadis dengan tatapan sehangat mentari
Tutur sehalus desir angin
dan hati sejernih embun pagi
Tak cukup kata
tapi ku harap dia selalu bisa merasakannya.


Puisi ini dibuat Evan untuk Debra, anak bandel pacar Aldo dan nggak suka puisi, tapi penasaran pengen dibikinin puisi tentang dia... karena dia mengaku narsis!


Pernahkah kamu membayangkan

Di antara bunga berwarna di taman

Tumbuh ilalang mencuat sendirian

Meliuk ditiup angin pagi, siang dan petang
Bebas, lepas, tanpa tinggalkan tanah yang dihujam akarnya
Dengan kelopak mekar di kepala

Ilalang sepenuhnya sadar

Ia dan bunga sama cantiknya

Ya

Ia cantik, karena ia indah sebagai ilalang


Di bawah ini puisi yang ceritanya dibacakan seorang pujangga muda di sebuah malam apresiasi puisi.

Di sini kita duduk dalam diam

senyummu menghalau kelam

aku menahan perasaan

karena aku selalu paham

persahabatan kita bisa mengeringkan laut dan menyalakan malam


(thx to Iwan, akhirnya gw sukses mengutip rayuan lo! huahahahaa)

Di bawah ini puisi yang dibuat Evan untuk Clara, sehari setelah diputusin.


Salahku takkan pernah habis
dan aku bukan orang yang sempurna
tapi aku hanya ingin kamu tahu

aku tak pernah ingin jadi kekasih yang buruk untukmu


See???

Eh, tapi.... liat deh posting berjudul "FLY". Itu puisi bikinan gue loh. IMHO, (sambil malu...) the best ever :)).


NB : Nyusul nih, ketinggalan di-post....

Bening itu
terpancar dari matamu
yang hitam namun secerah langit biru
dan aku luluh dalam pesonamu

Di dunia ini tak ada yang pasti
seperti letak ujung pelangi yang menyentuh bumi
tapi sungguh bisa dimengerti
kalau kamu adalah pelangi
yang datang tanpa pergi lagi

--

Udah ah... malu... gombalica banget.


Wednesday, November 02, 2005

Idul Fitri

Idul Fitri di depan mata. Sedih rasanya, karena bulan Ramadhan ini gue nggak terlalu maksimal memanfaatkannya. Padahal, obral pahala konon gila-gilaan. Diskon ampunan dosa ditawar-tawarkan. Untuk manusia yang bodoh dan lemah kayak gue, mestinya bulan Ramadhan bener-bener jadi bulan gemblengan. Pantes nggak ya gue minta kesempatan hidup untuk ketemu lagi sama bulan Ramadhan?

Gue sendiri inget, di bulan Ramadhan ini, gue sempet ngambek berat ke ortu, gue sempet ngecewain ex temen-temen sekelas yang gue janjiin buka puasa bareng, gue sempet bohong demi kepentingan gue sendiri, dan banyak lagi catetan salah gue. Sholat? Aduh, berapa kali gue lewatin.

Padahal mestinya gue malu. Rizki buat gue udah banyak banget. Ortu yang pengertian, sodara-sodara yang sayang, temen-temen yang setia kawan, tetangga-tetangga yang kompak nggak ketulungan, kerjaan yang (meski sering bikin pusing) menyenangkan, kesehatan, tabungan, kesempatan ketemu orang, keleluasaan perasaan dan pikiran….

Gue selalu take it for granted kalo Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang. Apa yang dia nggak kasih ke gue, pasti (gue sadarin maupun nggak) dikompensasi dalam hal lain. Tapi kenapa gue suka nggak tau diri?

Tapi yang lewat nggak boleh disesalin ya. Semoga gue selalu inget untuk memperbaiki diri. Makanya selain sedih, gue juga bahagia dengan hampir lewatnya Ramadhan ini. Soalnya sejak pagi, SMS mengalir dari banyak manusia. Isinya puisi-puisi pendek, tentang maaf dan doa. Siapa yang nggak suka sih didoain yang baik-baik?

Ini yang gue paling nikmatin dari awal dan akhir Ramadhan, menjelang Idul Fitri. Suasananya mendukung banget buat silaturahmi secara hangat. Sama siapa aja. Temen deket, temen yang lamaaaaaaaaaa banget nggak ketemu, kerabat yang suka sebel-sebelan, bawahan susah diatur, bos bertaling nyeremin, klien bawel… semua bicara dengan bahasa yang sama, “maaf lahir batin”. We’re belong to a “mohon maaf lahir batin” family :).

Nggak hanya itu. Bahkan dengan tetangga sholat Ied pun –yang gue nggak kenal— usai sholat bisa salaman dan rangkulan sambil nangis-nangisan. Emang kata-katanya “maaf”…. Tapi bukan maaf yang gue rasa-in (secara gue nggak tau salahnya dia apa, dan gue juga biasanya cepet maafin orang) …. Saat itu, gue merasa… gue punya banyak sodara. Sodara yang dipersatukan hati.

“Ketika takbir membahana, bergemuruh seisi buana, puasa tersempurnakan, zakat tertunaikan, syukur dihaturkan, maaf dipertukarkan. Minal Aidin wal faidizin”.
(puisi SMS yg nyampe paling pagi, dari Lady)

Eh, eh… Btw, mau tau SMS yang paling bikin gue ketawa?

"Ass. Wr. Wb. Ketika fajar menyingsing, langit.... Ah, susah mau berpuitis ria. Langsung aja maaf lahir batin ya. Wass. Mediko, Irma, Raihan".
(dari pak Mediko, KCC - u rock !)


SELAMAT IDUL FITRI
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN
SEMOGA ALLAH SWT MENERIMA IBADAH KITA
amiin…

-----


Wednesday, October 12, 2005

Mainan Baru

Detik-detik sport jantung atau lelah jiwa kalo mau kirim file naskah (padahal rata-rata 1 file cuma 200 kb) dari kantor berakhir sudah. Masa tugas internet dial up yang dodol melulu kini selesai. Penggantinya sekarang hadir.

Tadaaaa! Internet kabel! Cepat dan unlimited 24 jam sehari dalam sebulan sepanjang tahun selama masih mbayar. Jadi sekarang, selain bisa kirim naskah dalam itungan detik --nggak belasan menit lagi kayak sebelomnya ampe bisa ditinggal main funbubbles dulu--, kita juga bisa main internet sepuasnya ampe bego.

(hmm... kok kayak nasib pekerja ya. ketika ada yang lebih baru, bagus dan bisa ngasih lebih, kalo perlu dengan harga kurang, yang lama dibuang. makanya ada imbauan untuk kompetitif ya? kompetitif sehat, dan penghargaan sehat, gue harap)


Permainan pertama kita hari ini adalah browsing ebook dan downloading mp3 sebanyak-banyaknya. Maaf, bukan bermaksud membajak, tapi hanya memuaskan rasa penasaran sama lagu-lagu bagus yang ditawarkan para penyimpan file mp3 di seluruh dunia.


Sengaja untuk hari pertama ini lagu-lagunya agak bertema, nggak ngacak. Pilihannya adalah lagu tema film2 seri barat yang tayang di tv di Indonesia jaman 80-90an. Kenapa film2 seri barat, dan kenapa tahun 80-90an? Karena film-film itu akrab sama kita-kita. Secara kita sekantor adalah anak2 yang besar di dekade 80 - awal90, dan masa itu tivi baru TVRI paling banter plus RCTI serta belum ada VCD or DVD or tvkabel, maka hampir bisa dipastikan kalo kita nonton acara yang sama dari stasiun tv yang sama.


Anyway, lagu-lagu yang didonload bikin kita terlonjak-lonjak karena inget masa-masa muda dulu (alah!). Lagu-lagu itu adalah tv theme-nya :


CHIP's

BJ and the Bear (kenapa 'bear' ya? padahal kan simpanse)

Hawaii-5-O

Remington Steele

The A Team

Six Million Dolar Man

The Greatest American Hero
(believe it or not, i'm walking on air....)
McGyver

Growing Pains (as long as we have each other....)

Full House

Scooby Doo
(scooby doo bedoo, where r u....)
The Flinstones (flinstones, meet the flinstones, yabbadabadaba doo song... )

He-Man

Muppet Show (mannamannah)

The Simpsons

Tiny Toons
(we're tiny we're toony, we are the little looney....)
Animaniacs
(we are animaacs....)

Semua masih kedengeran bagus. Ya karena musiknya, ya karena senyum yang ditimbulkannya lantaran ngingetin lagi masa kecil kita yang lagi lucu-lucunya itu.

Hidup lagu jadul!

Sendiri

Sebuah pesan yang di-post seorang temen di friendster bikin gue trenyuh. Kata-katanya manis tapi isinya nelangsa.

-----

Rumah Abadi
by Ade

Pada ahirnya semua akan memimpikan hal yang
sama :
KEMBALI
Tapi rumah yang sebenarnya ada dalam hati.
Aku menyerah pada kata hati.
Sekarang aku tau, hidup adalah usaha
membangun jalan pulang.
Menuju rumah abadi yang bernama kesendirian.

Saturday, October 01, 2005

Akhirnya ke Bali Juga

Boleh bengong boleh melongo. Tiga puluh tahun hidup di Indonesia (emangnya pernah di mana lagi?), baru Rabu minggu lalu gue menginjakkan kaki di Bali.

Kalo boleh cerita, nyaris tujuh tahun gue mencanangkan niat liat Pulau Dewata. Diawali dari obrolan nggak mutu via telpon bersama Yanti, di sebuah malam tahun baru 1998 ke 1999, saat kita sama-sama basi karena malem taun baru cuman bisa gigitin kuku di rumah... ngalor ngidul nggak karuan, akhirnya nyeletuk malam taun baru berikut harus di Bali!

Tentunya, taun baru berikutnya nggak ke Bali. Nggak punya duit sih. Hihihi... klasik.

Barulah di tahun 2001, setelah gue jadi editor di sebuah situs internet dan Yanti kerja kontrak di UN, kita berani berencana lagi. Briefing nyaris tiap hari selama sebulan, dan nggak jadi pergi lagi! Kali ini karena nggak ada waktu.

Setelah itu, Shinto temen sesama FISIP juga pernah ngajak liburan ke sana. Tapi ngasih taunya mepet banget. Sehari sebelumnya. Gila, apa. Meskipun gue ditawarin stay di kamar hotelnya, tetep aja buat ongkos ke sananya kan harus bobol tabungan dulu. Karena tabungan gue minim... hehehe, intinya, nggak siap lah.

Tahun ini mestinya gue sama Yanti liburan bareng ke Bali. Niat tercetus awal tahun, untuk liburan akhir tahun. Jadi masih bisa nabung dan siap-siap cuti buat ngabisin waktu (dan duit) di Bali. Tapi setelah itung-itung waktu, libur gue sama Yanti kok susah match. Dan akhir tahun itu kan penuh dengan jadwal puasa dan lebaran, yang berarti jadwal silaturahmi pasti sangat padat.... dan harga tiket liburan juga mahal :)

Thanks to Amit

Naaa.....akhirnya, di penghujung September ada titik terang. Untung Amit si penulis dari India liburan ke sana. Daripada burn out di Jakarta, dan daripada keburu pulang kampung ke Bombay sana, dia ngotot pelesiran, gitu loh.

Dengan niat baik nemenin Amit di Bali (padahal tendensius pengen liburan juga), gue dan Mia langsung ikutan booking tiket. Cari yang paling murah. Wings Air, Rp 618.000 return ticket. Eh, pas konfirmasi, ternyata petugas travelnya bilang ada lagi yang lebih murah. Lion Air, Rp 518.000 pulang pergi. Yap, kita ambil. Horeeee! Apa? Naik Lion Air riskan? Tahun lalu pesawatnya jatoh? Idih... resiko mah ada di mana-mana. Serahin aja sama Yang di Atas.

Niat berangkat dengan badan fit agak terganggu. Gimana nggak, wong hari sebelumnya ngunjungin akekah-nya keponakan. Malemnya ngetik sampe jam tiga disambi packing. Eh, kerjaan masih sisa juga sampe harus packing laptop segala. Lalu berangkat pagi buta, masih ambisius masuk kelas senam pula. Kok nggak berasa mau liburan yak.

Tapi ternyata semangat untuk ngeliat Bali bikin badan seger. Nggak berasa lemes ato ngantuk tuh. Trus, kayaknya perjalanan ke sana gampang aja, gitu. Ke bandara dianter, padahal tadinya niat pake bis Damri. Lalu di bandara, kita diurusin Jecko yang orang Lion Air. Dari urus check in, bagasi sampe nemenin brunch. Bukan manja, tapi kali emang ini servis-nya si Jecko sebagai murid karatenya pacar Mia. Yah, kita kan nggak boleh menghalangi orang yang berniat baik....

Trus, di pesawat, seorang bapak yang tadinya duduk di window seat nawarin tukeran tempat duduk sama gue yang di alley seat. Hehe... entah karena nggak enak hati, kasian, ato tau diri denger gue ngomong dengan kencengnya ke Mia, "Nomor tempat duduk gue kan window seat ya? Kok gue nggak deket jendela?".

Take off dari Jakarta jam 11.50 dan nyampe Denpasar jam 14.15 waktu setempat. Gue langsung minta disalamin Mia. Dia sempet bengong, kenapa mesti nyalamin? Hehehe, karena ini kali pertama gue ke Bali! Aaahh, dia begitu senang jadi orang yang bersama gue for this first time.

Dunia Kecil
Di Ngurah Rai, kita dijemput Ketut. Ketut ini salah satu sobatnya pacar si Mia. Dia sering di-book anak-anak karate Jakarta untuk nganter-nganter ke mana aja di Bali... dengan angkotnya. Dan angkot itu pula yang jadi andalan gue dan Mia ke mana-mana selama liburan ini.

Ketut nganter kita ke penginapan di Legian. Murah tapi bersih. Jalan sedikit, udah nyampe jalan utama Legian Lor, yang di kanan kiri penuh dengan butik, restoran, mini mart dan warnet. Tentunya, sebagai penganut Gembel adalah Gaya Hidup, belanja di sini adalah nomor sekian. Masih banyak kawasan lain yang harganya lebih miring. Pun belanja bukan acara kita di hari pertama.

Sore itu, gue sama Mia mampir ke kantor Dimitri di Renon, Denpasar. Dimitri ini adalah mantan pacarnya Ucu, ex-house mate-nya Mia. Waktu ketemu gue pertama kali, Dim keliatan kaget. "Kayaknya kita pernah ketemu ya?" dan dengan entengnya gue jawab nggak. Abis, emang ngerasa nggak pernah ketemu. Tapi si Dim ini masih penasaran.

Ngobrol berlanjut. Akhirnya gue tau kalo Dim ini dulu anak Sastra Cina, pacaran sama anak Antropologi temen main gue di kampus. Pantes mukanya nggak asing. Eh, ternyata dia dulu juga sering main sama Erick anak Sastra Inggris. Lah, Erick kan tetangga gue. Gue mulai curiga. Apalagi waktu dia bilang ada anak Sastra lain yang tinggal di kawasan rumah gue. Lah, emang! Jangan-jangan...

"Lo kenal Aryo?" tanya gue. Iya, katanya, main ke rumahnya pun pernah. Lah...."Berarti lo pernah main ke rumah gue dong.... soalnya Aryo abang gue!" Dimitri bengong. Tapi dia lega, merasa keyakinannya kenal gue jauh sebelum hari itu terjawab sudah. Gue langsung telpon Mas Aryo di Jakarta yang terkaget-kaget karena adeknya ketemu temen nongkrongnya jauh di Bali.

Akhirnya Dim ngajak ke rumah kost dia yang cuman 5 menit jalan kaki dari kantornya. Lucu deh. Rumah kost kayak rumah susun. Tiga lantai, exterior penuh dinding batu hitam dan ukiran khas Bali, serta bisa liat sunset dari lantai 3! Seperti apartemen studio ukuran 5 X 4 meter, tinggal di sini tergolong murah. Sebulan yang nggak pake AC cuma Rp 350 ribu. Yang pake AC Rp 850 ribu. Jadi terpikir, bisa nih.... tinggal sebulan, nulis dari Bali.... :)

Info soal kos lucu itu kita sampein ke Ade, temen Ucu yang udah sebulan jadi dosen digital art di Renon. Ade adalah temen kedua yang kita kunjungin. Wah, kerjanya pake dasi bo! Biasanya kan liat dia pake oblong doang. Ade langsung nyengir sampe ujung mulutnya hampir nyentuh kuping kanan dan kuping kiri. Dia udah lama nggak liat temen dari Jakarta. Dooh, padahal menghubungi anak ini susahnya setengah mampus. Ternyata dia ganti nomor HP.

Baik Ade maupun Dimitri kita ajak buat jalan-jalan besok. Mereka mau banget. Ade malah janji malemnya akan ke penginapan kita buat makan malem bareng.

Destinasi ketiga adalah hotelnya Amit di Kuta. Kita nyampe sana sekitar jam 5. Tapi Amit nggak ada. Kita telponin, nggak diangkat. Ke mana dia ya? Akhirnya karena nunggu-nunggu dia nggak nongol juga, gue Mia dan Ketut cabut ke pantai Kuta. Tadinya mau liat sunset. Tapi pas nyampe pantai, udah keburu gelap. Mataharinya udah kecebur ke laut. Jadi gue cuman ndengerin ombak sama ngeliatin bintang.

Jalan kaki Legian-Kuta-Legian-Kuta sampe gempor

Maleman dikit, Ade beneran dateng. Trus kita ke monumen Bom Bali dulu di Legian. Mbacain nama-nama korban Bom Bali. Sedih sih nggak, cuman miris aja ngeliat sederet nama orang asing mati segitu banyak gara-gara bom di Indonesia. Miris juga liat turis-turis asing berdoa buat nama-nama itu. Soalnya ada yang berdoanya sambil mabok.

Lalu Ade ngomporin kita jalan kaki dari Legian ke Kuta, lewat gang-gang. Asik juga. Sepi tapi (entah kenapa) nggak serem. Banyak penginapan besar berbahasa asing di gang-gang itu. Sembari jalan, kita sekalian inget-ingetin berbagai paket wisata yang ditawarin agen lokal. Soalnya mau kita bandingin sama rencana kita explor Bali.

Begitu hampir nyampe pantai Kuta, Ade panik karena dompetnya ilang. Kita balik lagi nyusurin jalan yang tadi. Dengan harapan nemu di jalan. Teruuuus, sampe hotel di Legian. Eh, nggak ketemu juga. Semangat Ade langsung drop. Dia ngajak napak tilas lagi. Dompetnya tetep nggak ketemu. Bolak balik aja terus. Gempor deh kaki.

Akhirnya, Ade kita bayarin makan di Kuta. Tau nggak makan di mana? Karena Ade udah nggak bisa mikir, akhirnya dia ngajak ke Mc Donald's! Haaa? Jauh-jauh ke Bali cuman buat makan di McD? Bener-bener, deh.

Udah gitu, kita ngeliat anak-anak kecil (usia SMP lah) berdua puluh berduyun-duyun masuk McD. Dari gaya dandan dan omongannya sih, kayaknya mereka anak Jakarta. Duh, entah kenapa, kok miris ngeliatnya. Jadi mikir aja, gitu... kalo suatu hari nanti, anak gue pas SMP hura-hura ke Bali ngabisin duit ortu tanpa didampingin ortu gimana ya?

Sudahlah. Pas anak gue SMP, mungkin situasinya beda (lebih parah, maksudnya). Dan first thing first... cari bapaknya dulu buat bikin anak.

Anyway.... akhirnya kita jalan kaki (lagi) ke hotelnya Amit. Nyaris seperti kondisi sore, Amit nggak ada di hotel. Untung nggak lama kemudian, dia muncul sambil senyum-senyum. Dia abis nonton cewek-cewek seksi berkabaret di Musro. Dasar!

Trus kita chit chat di kamar Amit ngomongin produser, kerjaan (oh, no!) sampe suasana India. Obrolan berakhir jam 2 malem. Waks, besok kan kita mau jalan-jalan dari pagi.

Liat Monyet
Setelah tewas dari jam setengah tiga malem, gue baru kebangun jam setengah delapan besok paginya. Janjian sama Ketut kan jam 9, jadi masih ada waktu buat mandi dan sarapan. Ternyata Ketut telpon buat konfirmasi dateng jam 10, mau nganter istrinya sembahyang dulu.

Soal sembahyang ini juga salah satu yang mengesankan gue. Di mana-mana gue liat ada aja orang lokal pake baju tradisional ber-sembahyang di pinggir jalan, angkat-angkat dupa di depan sesajennya masing-masing, lalu nyipratin air suci ke tempat sajennya. Gue ngerasa itu pemandangan istimewa, mungkin karena cara mereka sembahyang beda sama gue? Ato mungkin karena gue ngeliatnya seperti sesuatu yang tradisional, yang langka di jaman modern ini? Dan... orang kalo ngeliat Muslim sholat bakal terpikir apa ya?

Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu kejawab, gue udah ketiduran di angkot. Baru kebangun lagi di Uluwatu buat liat Pura. Di sana kita disambut monyet-monyet yang lucu, yang tingkahnya kayak orang. Bisa nyengir, bisa ngambek, bisa males, bisa badung.

Kebadungan monyet terjadi waktu ada turis asal Asia Timur yang dicuri kacamatanya. Kalo mau dibalikin lagi, mesti ngasih kacang. Karena si turis nggak bawa kacang, terpaksa dia relakan kacamatanya dimainin monyet. Si monyet makin iseng. Waktu ada temennya (sesama monyet, tentunya) menghampiri, dia melepas lensa kacamata dan memberinya ke si temen. Dan si temen ngintip-ngintip lewat lensa itu. Ih, beneran kayak orang!

Itu juga yang bikin Amit nyeletuk, ngapain jauh-jauh liat monyet ke Bali. Dateng aja ke kantor, temuin produser, kan sama. Hahahaha! Amit langsung cengar cengir dan mohon-mohon agar kita nggak cerita ke mereka-mereka itu.

Liat Bali dari Puncak Monumen Renon

Monumen dan lapangan Renon letaknya persis di depan kantor gubernuran, dan nggak jauh dari kantor DPRD (yang sumpah bagus dan megah banget). Konon, jaman Indonesia belum merdeka, di situ tempat perang pasukan Bali lawan kumpeni.

Monumen Renon tuh kalo di Jakarta seperti Monas. Ada lapangannya, ada menara buat liat sebagian wilayah di sana. Bedanya, di sekitar Monumen Renon (dan hampir di seluruh Bali) nggak ada bangunan lebih dari 3 lantai (kata Ketut, itu aturan gubernur, biar pulau-pulau di sekitar Bali masih bisa dipantau). Sementara di sekitar Monas adanya pencakar langit semua. Jadi di puncak Monumen Renon kita bisa liat Bali sampe garis pantai timur, di puncak Monas kita bisa liat antara lain puncak Gedung Pertamina, Gedung BNI 46, Grand Hyatt dan Gedung BRI :)

Kalo di Renon lapangannya terbuka dan bersih, di Monas lapangannya dipager tinggi... ugh, ruang publik kok dipager dan dikunci.

Kalo sore, kawasan ini jadi area olah raga dan ngeceng (bahasanya jadul banget sih, ngeceng). Banyak juga orang main layangan. Gede-gede layangannya. Kata Ketut, banyak layangan langit jadi kotor. Padahal kata gue, langit jadi keren. Soalnya rame dengan layangan yang melenggang ke sana ke mari seperti ikan pari terbang di langit diliat dari permukaan bumi.

Ngejar Sunset
Ketut bertindak sebagai time keeper. Karena dia janji nganter kita liat sunset di Tanah Lot, dia cuman ngasih waktu setengah jam untuk belanja di pasar tradisional Kumbasari, Denpasar, setengah jam. Itu pun dia perlu SMS segala biar kita inget waktu.

Toh setelah nyaris sampe Tanah Lot pun, kita masih nyangkut di kios-kios dagangan buat belanja. Dan tipikal kita, kalo sukses nawar dengan harga sampe sepertiganya, masih aja mikir, "Mestinya kita bisa dapet seperempatnya!".

Di Tanah Lot, orang udah menyemut menghadap barat. Rata-rata ngeliatin matahari yang udah di posisi 60 derajat. Hmmm.... versi lain bangsa jepang penyembah matahari? Jauh ya? Ok. Lupakan. Komentar bergeser pada turis-turis asing.

"Wah, anak itu sukses ngitemin kulitnya" (waktu ngeliat satu gadis bule yang berkulit coklat terbakar matahari).
"Wah, ngeliat dia kok jadi inget arca" (waktu liat satu cowok dari benua Africa).
Atau "Baru kali ini gue liat orang pelesir di pantai berbatu-batu pake stiletto" (waktu liat rombongan turis Asia Timur yang cewek-ceweknya beneran pake stiletto, ck ck ck).

Akhirnya gue nemuin tempat yang menurut gue paling asik untuk liat sunset. Persis di pinggir sebuah batu yang menjorok ke laut. Selain rombongan gue, nggak ada turis yang nongkrong situ. Lumayan, lega dan pandangan nggak keganggu.

Matahari udah keliatan makin besar ketika berada di posisi 45 derajat. Tiba-tiba Ketut nyeletuk "Ada awan. Nggak akan dapet sunset". Masak sih? Tadinya gue nggak percaya. Tapi jangan abaikan kata-kata orang lokal. Ketika matahari di posisi 30 derajat, muncul deh awan mendung yang tebal persis di atas horizon. Aaaaahh! Padalah tinggal dikit lagi!

Penonton kecewa. Sunset nggak keliatan. "Mungkin di Jawa hujan deras," kata Ketut sedih. Kasian juga sih gue, soalnya kemaren dia bilang di Bali udah lama nggak turun hujan. Kering kerontang. Sementara kita berharap hujan jangan turun dulu sebelum kita liat sunset.

Bali = bukan Indonesia (atau bukan Bali juga)

Badan capek, dekil, debu-an, berkeringat dan (hopefully) terbakar matahari nggak bisa langsung dibersihin waktu kita nyampe Legian lagi. Soalnya, Ketut harus pulang lantaran dapet giliran ronda. Akhirnya gue, Mia dan Amit didrop di ujung jalan Legian, karena kita akan makan di Warung Made yang recomended itu.

Namanya Warung, tapi konsepnya resto cafe. Hidangannya campur dari Amerika, Eropa, Asia sampe Indonesia. Makanannya sih menurut gue biasa aja. Enak sih, tapi nggak istimewa. Sedihnya, gue nggak tau, makanan khas Bali apa yang bisa gue makan di situ. Abis yang khas cuman Babi. Gue kan nggak makan babi. Akhirnya, nasi goreng lagi....nasi goreng lagi.

Biarpun Warung Made gitu-gitu aja, tempatnya emang bagus dan cozy. Di sana asik buat ngobrol sampe berjam-jam.... dan penuh terus! Cuman kata Amit, nggak ada orang lokal (Bali) kecuali pelayannya. Isinya orang asing mulu. Ironis. Hehehe, emang. Jangankan di Warmad, di sepanjang jalan kan isinya juga orang asing mulu. Musro isinya orang asing mulu. Hiburannya kabaret ala Broadway. Bounty tamunya orang asing mulu. Hiburannya tari perut diiringi perkusi Latin. Cafe M-Bar-Go isinya bule-bule muda mulu, musiknya bejedungan khas diskotik. Hotel isinya orang asing mulu. Pantai isinya orang asing mulu. Bisnis di Bali yang punya orang asing mulu. Bali emang bukan milik orang lokal. :(

Anyway, kembali ke Warung Made... konon resto cafe ini juga salah satu yang kena dampak Bom Bali. Untung kita dateng nggak pas saat ada bom ya. Bersyukur banget deh. Gara-gara ngomongin Bom Bali itu, Amit lalu minta dianter ke monumen. Dia mau ambil foto buat dokumentasi.

Karena kita cuman bertiga, kalo mau moto obyek tiga orang ini, mesti minta tolong orang lewat, yang lagi-lagi bukan orang lokal. Dohhh, kok masih sentimen gini....

Sedangkan waktu gue motret Amit dan Mia, gue minta mereka pura-pura ngobrol, biar gayanya nggak standar. Mereka pun ngobrol sambil ketawa-tawa jail. Tau apa yang mereka obrolin? "Producers... I hate them... I hate them too... Revision? Hate them... I hate them too".

Soal Khas
Mak Beng. Ini satu lagi tempat makan yang recomended. Letaknya di pinggir pantai Sanur. Tapi si pemiliknya mungkin nggak dapet kontrak tempat yang menghadap pantai, jadi ya kalo mau makan di situ sambil liat pantai, mesti tengleng dulu menjulurkan leher untuk ngintip keluar.

Mak Beng punya paket andalan seharga Rp 11 ribu, terdiri dari nasi putih (banyak banget), sop ikan (kuahnya seger banget) dan ikan goreng (garing tapi nggak keras). Nah, ini baru memuaskan rasa penasaran gue sama makanan khas lokal. Eh, tapi nggak juga deng. Nggak khas juga. Waktu gue di Kalimantan, makannya kan gini juga? Bedanya, di Kalimantan, makannya di pinggir sungai, bukan di pinggir pantai.

Jadi, apa yang khas ya? Sebenernya sih ada Bebek goreng bumbu Bali, tapi muter-muter nyari tetep nggak nemu. Entah kurang canggih nyarinya, ato emang jarang yang jual. Lalu ada sejenis makanan berkuah yang sering dimasak orang Bali. Namanya lupa, tapi terdiri dari irisan nangka dengan rebusan yang dicampur darah ayam. Yah... nggak makan juga. Ada juga rekomendasinya anak-anak karate, yaitu warung-warung di deket Kuta, yang nyediain lauk dengan bahan baku mushroom. Mabok deh kalo makan.

Pertanyaan soal cari makanan khas gue omongin ke Vivit. Dia warga dunia dan baru datang di Bali sehabis conference di Singapura. Diskusi berlanjut di cafe Kopi Bali, yang tempatnya full AC dengan sofa besar-besar warna warni dan foto-foto orang asing. Topik makanan khas meluas ke hal-hal khas lainnya, atau justru hal-hal tidak khas.

Kuta Square, misalnya, nggak khas Bali. Tampak sama aja kayak Square lainnya di luar negeri (ini kata mereka, bukan kata gue, i have never been abroad). Hotel, cafe, salon, spa, ...semuanya sama. Junk food restaurant, supermarket.... Nggak ada yang khas. Meski gue sempet menyayangkan, tapi gue positif thinking aja. Yang dibandingin kan kota besar, bukan wilayah-wilayah kecil yang lebih pedalaman.

Untuk Bali, tempat dengan persentuhan berbagai budaya (asing) sangat tinggi, gue masih bersyukur bisa nengoknya sekarang ini. Meski nggak nemu makanan tradisional dan sempet ngerasa dateng ke tanah orang asing, tapi gue ketemu suasana tradisi. Bahkan di kota besarnya sekali pun. Semoga untuk waktu yang lama, suasana tradisi itu masih ada.

Sunday, September 25, 2005

Fly

Fly, fly
freely and high
to the sky, out of space
beyond the boundaries



Fly, I must fly
because the clock never stop clicking
for fulfilling the dreams
reaching out the aims
and tasting the bittersweet of the world



Fly, I fly
and time goes by
but I can’t help missing to come home
to shelter
bringing all the hopes, joy and sorrow
to share them all with you

Sunday, September 18, 2005

Fisip Banget Sih...

Entah kapan pemeo ini dipake pertama kali. Yang jelas, sering dicetuskan saat beberapa kebiasaan komunal muncul ketika anak-anak FISIP UI ngumpul. Mungkin nggak untuk semua warga (ato mantan warga Fisip UI). Tapi coba cek di anak-anak FISIP dekade 90an, mereka biasanya pernah ngalamin. Ya, ada sejumlah kebiasaan akut yang bikin kita (anak2 Fisip itu) suka berkomentar ngeledek diri sendiri "FISIP banget sih....".

Itu juga yang terjadi Jumat kemaren, waktu sejumlah anak angkatan gue ngumpul buat nonton DEALOVA, film yang disutradarai Dian Sasmita, temen seangkatan kita juga. Lama nggak ketemu, kebiasaan yang "FISIP banget sih..." itu tiba-tiba muncul dengan nyata.

Apa aja tuh?

1. Lemot (lemah otak)
Belasan tiket bioskop udah dibeli, trus kita bingung, kita duduk di mana. Padahal kan tinggal liat nomor kursi yang tercetak di tiket itu ya?

2. Salah sikap
Situasi: Yanti cerita kalo dia ditinggal kawin.
Reaksi Dian Sasmita: Ah, nggak penting. Yang penting sepatu boot yang lo pake itu keren...
Alasannya: Tak terjelaskan, pokoknya tu sepatu boot keren.

Situasi : Yanti cerita kalo dia ditinggal kawin. Muka udah distel sedih.
Reaksi Citra: Ngakak nggak terkira.
Alasannya: 'Gue pikir dia butuh dihibur, jadi ya gue ngakak aja biar dia juga ketawa'

3. Sok tau
Situasi: Yanti cerita dia udah ditinggal kawin 4 orang.
Santi: Siapa aja?
Yanti: Alif (nama samaran)...
Santi: Hah? Alif SMP?
Yanti: Ya.
Santi: Ya ampun..... si Alif kan bla bla bla, bla bla bla, was wes wos, was wes wos... (intinya ngomongin si Alif seperti ngomongin temen lama aja, gitu). Iya kan? Si Alif SMA X itu kan?
Yanti: Bukan. SMA nya nggak di sana... tapi....
Santi: (ngotot bahwa Alif yang mantan anak SMA X itu).
Yanti: (bingung, kan yg ditinggal kawin kan dia ya...., yg hafal orangnya juga dia...., kok yang ngotot orang lain?)

4. Briefing di mana saja, kapan saja.
Ini adalah kebiasaan paling akut. Untuk jumat malam kemaren, kejadiannya adalah :

a. Keluar bioskop Blok M Plaza, sekitar 10 of us diskusi panjang di depan lift untuk menentukan abis ini mo makan di mana. Akhirnya diputuskan makan di Premium, Blok M plaza, karena Dian dan astradanya nunggu di sana.

b. Di Premium cuman sebentar, sekedar ngasih selamat ke Dian. Lalu 4 of us pamit mo pulang duluan. Sisanya diskusi kalo tempat ini nggak enak buat nongkrong rame2, jadi enaknya makan di mana ya??? Diskusi lebih dari 30 menit itu ditutup dengan satu anak nunjuk ke luar, "Lho, kok anak2 yang pamit tadi masih di depan premium? Mereka briefing juga ya?"

c. Anak-anak yang briefing di luar Premium ternyata masih ngomongin masalah pulang enaknya gimana. Lalu anak-anak dari dalam Premium bergabung. Kita diskusi, soal topik yang sebenernya nggak berkembang dari diskusi di dalam tadi. Akhirnya diputuskan makan di Buzz, Pondok Indah, karena Santi dan Totet menunggu di sana.

d. Delapan orang akhirnya ke Buzz untuk minum teh dan nyemil. Bubar ketika waiter bilang mereka udah mo tutup. Alhasil, di tempat duduk kita briefing lagi. Briefingnya soal yang kemaleman akan nginep di mana, yang mo pulang sendiri akan gimana pulangnya. Briefing di tempat duduk berhenti karena waiter udah mulai angkat-angkatin cangkir dari meja kita. Akhirnya, briefing dilanjutkan sambil berdiri di....

e. Tengah Buzz.... yang nggak lain nggak bukan HANYA 5 langkah dari tempat duduk kita tadi. Topiknya masih sama, nggak berkembang. Diskusi di tempat ini dihentikan karena kita nggak enak sama para waiter yang mondar-mandir beresin Buzz, sehingga kita melanjutkan briefing di....

f. Depan pintu masuk Buzz... dengan topik yang... tentu saja sama!!! Dan kesimpulannya adalah... nggak ada kesimpulan. Kita masing-masing udah gede, dengan sendirinya udah tau gimana cara pulang.

Arrhhhh, kebiasaan yang mendarah daging. Gampang ditebak sendiri. Tapi apa mo dikata. Kejadian lagi, kejadian lagi. Pokoknya seperti Srimulat yang meskipun lawakannya diulang-ulang dan sangat terprediksi.... tapi kita sendiri tetep cengengesan ngeliatnya.

Tuesday, September 13, 2005

Untitled

Sebuah SMS masuk ke HP nyokap jam 11 siang. SMS yang sama juga masuk ke HP bokap. “Mama-Ayah-Dita… Dwi udah masuk RS. Udah bukaan dua. Doain prosesnya lancar dan si bayi lahir dengan selamat. Amiiin”.

Haaaaaaaa! Tiba-tiba gue ngerasa jadi mahluk ogle. Cengar cengir sepanjang ngetik. Hayo kerjaan…. Cepatlah selesai…. Pengen buru-buru kabur ke RS. Nungguin lahirnya keponakan pertama gue. Haiyyah! Gue mo jadi tante. The real tante.

Tapi sms bos gue bilang kalo bukaan dua itu masih sekitar 3-4 jam lagi. Daripada nggak ngejar, mendingan gue ke RS. Wah, blessed you. Thank you… Tapi ternyata ada syaratnya: bawa laptop, kerja di RS! Hahaha, sama aja.

Nyampe RS jam 2 siang. Dwi belom boleh tiduran, sama dokter masih disuruh jalan mondar mandir. Bosen, katanya. Jalan sini, mentok. Jalan sana, mentok. Gue saranin biar nggak bosen, jalan-jalannya ke Dufan. Huss! Sembarangan!

Jam 2 itu Dwi masih ketawa tiwi. Dia cerita kalo orang-orang kantornya udah heboh taruhan. Ada empat kelas taruhan. 1) Jenis kelamin bayi. 2) Lahirnya pagi, sore ato malem. 3) Panjang berapa. 4) Berat berapa. Modal yang terkumpul 460 rebu rupiah. Eh, dia sebagai subyek nggak dapet bagian pula. Dasar!

Waktu Dwi udah masuk kamar bersalin, cuman satu penunggu boleh masuk. Sisa keluarga, silahkan duduk di ruang tunggu. Jadi gue nemenin ibunya Dwi, yang tiba-tiba beride nonton sebuah sinetron, yang katanya bagus. Gue tanya-tanya, kenapa bagus, apa bedanya dengan sinetron lain, bla bla bla, bla bla bla, dan semuanya dijawab dalam nada positif dengan semangat. Ujung-ujungnya, gue ngaku… “Itu aku yang nulis, Mah”. Kakak ipar gue langsung ngakak. Jebakan batman!

Sebenernya, sinetron itu saingan sama sinetron lain dari PH yang lebih kuat. Waktu gue cari-cari mushola, gue ngelewatin berapa titik tivi gitu. Eh, semuanya nyiarin sinetron yang head to head sama sinetron gue itu. Hahaha, untung di ruang tunggu tadi ada ibunya Dwi. Nggak ada yang berani ngelawan orang tua. Hahaha, mari nonton sinetron gue bersama-sama.

Begitu juga waktu masuk jam 10 malem. Pas ada sinetron yang nampilin cewek-cewek seksi. Cowok-cowok, para bapak muda, pada melotot nontonnya. Eh, ibunya Dwi minta ganti channel, untuk nonton ceramah agama dari Aa Gym.

Tapi kasian deh, di kamar bersalin, Dwi merintih-rintih. Bayangin aja, masuk RS jam 9 pagi, jam 7 malem masih bukaan 2 juga. Jam 9 malem ketuban pecah, tapi baru bukaan 3. Eng ing eng… perlu cesar kah? Gue nemenin nyokap masuk ke kamar Dwi. Nggak ada ketawa-tawanya deh. Sakit banget katanya, sampe minta disuntik obat penghilang rasa sakit. Dokter yang datang sampe tiga. Nyokap sampe kuatir, apa perlu obat penghilang rasa sakit? Ntar kalo berpengaruh ke bayi gimana? Tapi keputusan tetep di tangan Mas Aryo dan Dwi.

Jam 11 malem ini, udah bukaan 6. Mas Iyo udah senewen, bolak balik dari kamar bersalin ke ruang tunggu. Ngelaporin segala perkembangan. Bilang istirnya nggak bisa ngeden karena sakit yang mestinya dirasain malah nggak berasa. Tapi kok ada sakit lain? Yang sakit banget. Kita sampe bengong dengernya. Mamanya Dwi langsung berdoa-doa. Kita aminin.

Tiga jam nunggu… sambil nonton Aa Gym…

Gue yang menghadap pintu kaca ngeliat Mas Iyo keluar dari kamar bersalin. Capek tapi senyum. Eh…. Ada apa tuuu? Sent dulu ya… Daaaaaaaaaaaaaa.

Thursday, September 08, 2005

Ditinggal Kawin

Status si oknum emang 'cuma bekas gebetan. Tapi yang namanya pernah deket, 'rasa' pernah ada, chemistry pernah muncul, hati pernah dititip… belom ada pengganti dan/atau belom sepenuhnya dilupain… boong banget kalo nggak pengen harakiri begitu tau kalo si oknum mau kawin… sama orang lain.

Hari ini satu sobat gue, seorang fun fearless female, cerita kalo mantan gebetannya bentar lagi nikah. Nggak sama dia tentunya. Dia sedih berat. Padahal dulu, waktu mereka saling pedekate, wuih... seru... tarik ulur... tarik ulur... benar-benar menggemaskan wadyabala pendukung. Tapi kebanyakan tarik ulur... akhirnya benang layangan putus! Layangan lepas.

"Gue baru masuk kantor, dapet berita itu langsung kunang-kunang".
"Sabar... sabar.... "
"Huuhhhhhhh".

Patah hati udah lewat. Rasa kosong udah diacuhkan. Tapi tetep aja, begitu denger cerita menyenangkan buat si oknum (tapi mematikan buat kita), nelangsa itu muncul lagi. Rasanya seperti kesamber gledek, kelindes truk, digebuk Hulk Hogan, diketok duren. Sakit. Kosong yang sakit.

"Yah begitulah," sobat gue mengkonfirmasi. "Yang gue sebel, waktu itu dia juga udah bilang, mo kawin di usia 30. Dan tentunya gue kan hehehe doang. Ih, ternyata bener loh. Sampe bela-belain balik ke mantan pacar yang udah dicela-cela dulu. Hhhhhh!!"
"Huh! Mantan pacar!!"
"Ember. Hina nggak?"
"Ya."

Yah, sudahlah. Mungkin dia emang bukan buat lo? Lagian kalo udah gitu kan jadi jelas, cowok-cowok mana yang masih memungkinkan. Di ujung sana, doi pun membulatkan tekat, 'Tetap fun fearless female!" Sip!

Lalu gue laporan, "Wah, mp3 gue lagi pas banget nih"
"Apa? Apa?"
"Maliq n D'Essentials - Untitled."
"Wahhh. Iya bangeeeettttt"

Lama hening.
Tapi lo jangan dengerin itu."
"Hhhhhhhhhhhhhh... telat."

Kalo gitu, singkirkan semua benda tajam, benda keras, dan benda berpotensi strum tinggi. Sudah aman semua? ... Yakin? .. OK. Mari kita nyanyi....

(intro gitar akustik, irama sendu)

Untitled
By Maliq and D'Essentials

Ketika kurasakan sudah
ada ruang di hatiku yang kau sentuh
dan ketika kusadari sudah
tak selalu indah cinta yang ada

mungkin memang ku yang harus mengerti
bila ku bukan yang ingin kau miliki
salahkah ku bila kaulah yang ada dihatiku?

adakah ku singgah di hatimu
mungkinkah kau rindukan adaku
adakah ku sedikit di hatimu?

bilakah ku menggangu harimu
mungkinkah kau tak inginkan adaku
akankah ku sedikit di hatimu?

bila memang ku yang harus mengerti
mengapa cintamu tak dapat kumiliki
salahkah ku bila kaulah yang ada di hatiku?
kau yang ada di hatiku

bila cinta kita tak kan tercipta
ku hanya sekedar ingin tuk mengerti
adakah diriku singgah di hatimu?
dan bilakah kau tau kaulah yang ada di hatiku?

kau yang ada di hatiku
adakah ku di hatimu?

……………..

Melamunlah. Bersedihlah. Susuri kenangan. Tapi udah, sampai di situ aja. Setelah itu berdiri tegak, berjalan mantap. Life goes on.

Tuesday, September 06, 2005

Yasmin

Ini dia, anak kecil yang menghabiskan banyak waktu mainnya tiap hari di rumah gue.

Temen-temen nyokap yang dateng ke rumah suka nanya, "Cucunya ya, Bu?" sambil ngelirik-lirik gue. Eits....

Mana mau nyokap dipanggil 'Eyang'? Berasa tua bener. At least, sekarang, saat anak-anaknya belom ada yang ngasih dia cucu. Buktinya, nyokap dengan keukeuh-nya melatih anak ini untuk manggil dia "Bude".

Yasmin lahir tahun 2001. Tinggalnya persis di rumah sebrang. Orang tuanya bekerja rutin, dari pagi sampai malam. Sejak belum bisa jalan, dia udah sering dibujuk ke rumah. Terutama kalo pembantunya lagi gendong dia di luar. Tapi yang paling sering sih, dengan pancingan. Pake kue, buku cerita, buku gambar, video Teletubbies, sampe main piano (gue relakan tuts piano digebuk-gebuk gonjrang gonjreng sama dia demi dia betah di sini).

Sebenernya sogokan itu nggak berpengaruh banyak. Sebab kayaknya, Yasmin sendiri jiwa mainnya tinggi. Paling nggak, untuk main ke rumah sebrang. Bayangin aja, waktu baru bisa jalan, dia ngotot dateng ke acara keluarga besar di rumah gue. Sambil limbung sana limbung sini, dia nyalamin --plus cium tangan-- semua anggota keluarga besar, yang menerima salamnya sambil ternganga. Ini tetangga, sodara, or what?

Trus abis itu dia main sama sepupu-sepupu gue yang masih SD. Yang cowok. Kirain mau tebar pesona (anak kecil juga bisa tebar pesona, bukan?). Ternyata bukan. Ternyata dia emang hobi main pasir, injek-injek tanah, manjat-manjat pager. Gue yang ngawasin jadi deg-degan. Bukan takut dia jatoh, tapi takut ortunya liat. Hehehe. Sejak saat itu, gue nandain ini anak bakalan tomboy.

Makin hari, kedatangan Yasmin ke rumah makin rutin. Malem, kala balita mestinya udah tidur, dia malah nenangga. Sendirian (setelah didrop pembantu, bokapnya, kakaknya atau eyangnya, dan beberapa puluh menit kemudian dijemput lagi).

Bokap nyokap sempet nggak enak sama ortunya kalo dia keseringan di rumah kita. Takut menyita dia dari rumahnya sendiri. Tebak-tebak buah manggis, ternyata ortunya sama aja. Mereka nggak enak sama kita kalo Yasmin keseringan dateng, takut ganggu.

Emang sih kadang ganggu, apalagi kalo kita semua lagi pengen istirahat. Anehnya, secapek apa pun kita, kalo si kecil ini udah main di rumah, capek langsung ilang. Padahal ini anak bawel minta ampun. Segala ditanya. Hobinya cerita. Kalo nggak cerita, ngobrol (kayak orang gede). Udah gitu kalo ngobrol suka nggak mau kalah. Liat kamera digital di meja, dia bilang "Aku juga punya". Ngeliat komputer di kamar nyokap, dia ngomong "Di kamal kakakku juga ada". Tapi begitu liat laptop gue, matanya membulat dan cuman bisa "Waaaw...".

Belakangan, bokapnya cerita kalo Yasmin di rumah mbujuk ibunya. "Bu, beli komputel yang kayak Mbak Dita dong... kecil, bisa dilipet". Ibunya udah bilang mahal. Tapi dengan cepat dia jawab, "Tapi kelen...". Ouch!

Biar tomboy, ternyata dia akrab sama kegiatan domestik.
Kalo gue nyapu,
dia ikutan nyapu, meski hasilnya makin ngotorin lantai. Gue ngelipet pakaian, dia bantuin ngelipet, rapi pula. Kalo nyokap bersihin teras belakang, dia ikutan, sambil komentar "Duuh, dolokna... (Duh, joroknya)". Jelas aja jorok, wong tanah dia urek-urek. Kalo bokap nyuci mobil, dia ndeketin dan sengaja membiarkan kakinya kena cipratan air, lalu bajunya... dan bokap tau deh kalo dia pengen 'bantuin' nyemprot air ke karpet mobil. Alah! Mainan air aja....

Yang lebih mencengangkan, suatu hari banyak tamu di rumah gue, Yasmin
datang dan sigap ngambil gelas aqua simpenan nyokap. Dia sodorin satu satu ke tiap tamu. "Ini bu, minumnya... Ini pak, minumnya,". Lalu duduk sama-sama, kecil sendiri. Nggak heran kalo Mas Aryo dan istrinya dateng ke sini udah seperti tamu, sementara Yasmin udah seperti tuan rumah. Padahal yang anaknya nyokap kan Mas Aryo. Ck ck ck.

Kedatangan Yasmin makin ditunggu nyokap waktu gue jarang pulang karena mondok. Nggak ada hari tanpa Yasmin yang cablak, bawel, suka sok nasehatin dll. Ngobrol bareng, klitikan bareng…. Kalo anak itu nggak dateng, pasti dicariin. Sebaliknya, kalo nyokap lagi ngajar, Yasmin pasti nungguin di rumahnya sendiri. Begitu suara mobil bokap terdengar, Yasmin langsung loncat minta dianter ke rumah sebrang.

Nyokap dan Yasmin adalah dua sahabat beda generasi. Dengan cara yang unik, mereka saling mengisi.

Pernah nyokap iseng nanya, “Dek, kalo kamu udah gede, kamu masih mau nemenin Bude nggak?”. Dijawab spontan dengan suara cemprengnya, “Ya mau lah, Bude…”.

Nyokap cuman senyum. Dia tau, kalo Yasmin udah gede, waktunya pasti lebih banyak buat hidupnya sendiri. Nyokap udah pengalaman dengan itu...

Sunday, September 04, 2005

Kawah Putih

Lokasi : Kawah Putih

Bias sinar matahari menembus awan di atas Kawah Putih

Kawah Putih air danaunya ijo

Three Mouseketeers

Gaya Wiendy kalo lagi kedinginan, negrep siapa aja yang deket dia.

Gaya Dita kalo mo loncat kawah (gaya doang, sumpah)

credit foto : Dita, Shanty, Wiendy

Saturday, September 03, 2005

Long Weekend

Akhirnya kabur juga dari Jakarta. Kemaren, waktu berangkat, Pak Bambang si tetangga langsung mengernyit begitu pagi-pagi gue udah keluar pager sambil nyangklong tas. "Liburan dulu, Pak...". Dia heran kali. Nggak pernah liat gue kerja, tau-tau gue liburan. Hehehhe....

Destination : Kawah Putih, kabupaten Bandung.
Tujuan yang sempat dicela-cela Siska, wartawan surat kabar asing di Jakarta yang bertaun-taun tinggal di Bandung. Gimana nggak dicela. Soalnya jomplang banget sama tujuan semula : Bromo. Yah... nggak ke kawah Bromo, Kawah Putih pun jadi :p

Nggak nyangka, ternyata dari kota Bandung perjalanan makan waktu juga ya. Dua jam lebih, udah termasuk nyasar jalan :). Tapi nggak berasa karena di sepanjang jalan banyak ocehan.

Dari nebak-nebak tanda jalan yang nggak jelas, sampe impulsif pengen ngubah tujuan ke tempat yang lebih jauh. Ke Garut, misalnya.
Dari ngomentarin rumah para petani stroberi, sampe kebingungan ngeliat ada kompleks perumahan yang jauh di tengah sawah (udah gitu, kita mikir yang punya rumah kerjanya di Kopo, Bandung).
Dari cerita Shanty yang ngaku pertama kali liat sawah setelah kuliah (itu pun karena ikut KKN) sampe Wiendy yang pernah begitu penasarannya sama sebuah pantai, sampe bela2in naik angkot ke sana, dan nggak nggak nyadar kemaleman gara-gara perjalanannya makan waktu 6 jam.

Kami tetep menuju Kawah Putih. Ngelewatin kebon stroberi yang metik sendiri. Pengen mampir. Tapi begitu liat udah jam 3 sore, hmmm... kayaknya mendingan naik ke kawah dulu kali. Takut kabut keburu turun, ntar nggak liat apa-apa. Udah Bromo nggak dapet, masak Kawah Putih doang juga nggak dapet :)

Belasan menit dari kebon stroberi, melaju di jalan di tepi jurang, lalu perjalanan panjang berasa nyaris selesai begitu liat plang besar bertuliskan Kawah Putih. Horeee!! Tapi begitu masuk gerbang, ada lagi perjalanan nanjak yang seperti nggak berakhir. Kok nggak nyampe-nyampe ya? "Jangan-jangan... jalanan ini nembus ke kebon stroberi yang tadi...".

Jadi ya, nikmatin aja deh jalan sempit berliku-liku itu. Saking sempitnya, kalo ada mobil dari arah depan, roda masing-masing mobil yang berpapasan akan menginjak tanah. Untung masih tanah... bukan jurang.

Akhirnya... Kawah Putih... kami datang!

Bagus. Nggak terlalu mencengangkan sih, tapi bagus. Bikin semuanya jadi banci foto. Maunya dipotret, bukan motret. Shanty si tuan rumah --sekantor sama Siska-- niat ngirim foto2 itu ke Siska. Biar dia ngiri, katanya. Tapi yang pasti si Siska nggak akan ngiri kalo tau kita nyaris nggak pulang. Kami sempet nggak bisa masuk mobil. Mobil Shanty nggak bisa dibuka gara-gara batre kuncinya kedinginan.
Kami terancam bermalam di area kawah putih, dan waks... mulai menggigil... nggak siap perabotan lenong buat nginep di kawasan bersuhu sekitar 10 derajat Celcius. :)

Ah, yang bikin menyenangkan itu bukan foto-foto di sana. Tapi kegembiraan perjalanannya yang nggak terganti. Ada ketawa-ketawa lucu. Ada pengalaman garing. Ada rasa penasaran tentang apa yang akan kita liat. Ada cerita baru yang bisa diceritain ke temen-temen dan orang-orang rumah.

Tiba-tiba, jadi kangen rumah.

(dari Bandung)

Thursday, September 01, 2005

'Undangan' dari Solo

Lama nggak liat pertunjukan seni, akhirnya gue membiarkan diri masuk Gedung Kesenian Jakarta buat nonton Kolaborasi Tari Korea-Indonesia.

Tadinya gue pikir, yang muncul bakalan tari Korea. Itu tuh, yang para penari ceweknya pake kimono Korea, bawa kipas, terus nari membentuk lingkaran madep luar dengan kipas-kipas dijejerkan sambung menyambung… lalu lingkaran itu berputar.

Ternyata jauh….

Yang muncul emang penari Korea. Namanya Sen Hea Ha. Tapi dia nggak nari Korea, melainkan nari Jawa. Yah, nggak Jawa banget sih. Paduan tari klasik Jawa Solo campur balet gitu. Hasilnya? Tari kontemporer keren. Tapi yang lebih keren lagi… kemben batik dengan sedikit payet, dipadu rok panjang A line. Anggun banget… :)

Sepanjang hampir dua jam pertunjukan, si Sen ini muncul beberapa kali. Tapi dua kali dia tampil pake kebaya. Sumpah itu kebayanya keren abis. Ijo royo royo. Paduannya rok batik motif nggak tau apaan. Terus dia pake selendang merah buat diselempang di leher, sama sepatu merah berhak tinggi yang seksi tapi kokoh. Dengan kostum begitu, dia nari. Sama juga, jawa klasik campur balet. Aaaah, keren banget…. Narinya, kostumnya… Gue nggak mau komentar sok nyeni deh. Gue cuman manjain mata.

Iseng gue intip lembar program. Oohh, pantes. Pantes kostumnya keren. Yang ngerancang Iwan Tirta!

Tapi lupakan dulu baju Iwan Tirta. Soalnya ada lagi yang lebih menarik gue. Enam penari asli Solo (dari Taman Budaya Surakarta Dance-Theatre Studio) tampil medley rame-rame. Lewat tarian kontemporer berbasis klasik Jawa, mereka “nyeritain” kota Solo, yang kehidupannya serba tenang adem ayem tentrem. Yang punya pasar batik Klewer yang terkenal ke mana-mana. Yang punya stasiun Balapan, lengkap dengan hiruk pikuk penumpang bersuara medok dan lengkingan kereta tuuuut tuuuut jes jes jes… jes jes jes….

Para penari juga “nyeritain” betapa orang Solo sering nongkrong di Warung Wedangan (Hik namanya), di mana mereka minum teh anget sambil ngemil gorengan, curhat, ngomongin ide, melepas kangen sama temen-temen atau orang yang dituakan… dan pastinya sama yayangnya (kalo punya, hehehe).

Di sela musik kontemporer yang nggak rumit-rumit amat, sinden nyadran, dan suara penari yang bersahutan… eh lamat-lamat terdengar lagu keroncong Bengawan Solo. Lama-lama jelas... itu suara Gesang! Rekaman memang, tapi… aaaah, jadi pengen ke Solo…!!

Ok, tahan emosi… Mari kita simak lagi Solo yang dibawakan para penari. Ada penggambaran kesibukan pagi hari, yang penuh dengan orang-orang naik motor untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain. Kota kecil kayak Solo kan emang motor rules. Praktis. Yang ngemudi motor juga macem-macem. Dari cewek seksi pake rok mini, mahasiswa mahasiswi, mas-mas pekerja kantor sampe bapak-bapak berlilit bebetan kain batik.

Juga di’cerita’in betapa perempuan Solo itu lemah lembut tapi tegar. Kalo jalan bak macan lapar. Bikin orang jadi terkapar. (sudah hentikan rhymes gak mutu itu, Dit).

Dan puncaknya, ketika para penari nunjukin produk-produk makanan jajanan mereka, kita penonton dibagi! Mereka sengaja turun ke bangku penonton untuk nyodorin langsung kue-kue di tampah mereka. Gue dapet kue pisang, temen gue dapet wingko. Lumayan buat ganjel perut laper… :)

Gue baru dua kali ke Solo (eh tiga kali, kalo transit makan bubur ayam di halaman stasiun juga diitung). Sebagai orang Jakarta yang terbiasa dengan suasana hiruk pikuk, ke Solo seperti ke oase. Segmen tari 42 menit itu cukup buat bikin gue inget lagi jam-jam panjang yang berjalan melambat di kota itu. Tenang. Tentram.

Apa gue kabur aja ke Solo?

Tuesday, August 30, 2005

Semua Orang Butuh Sharing

" Lo merasa belajar sesuatu nggak dengan kerja di sini?"

“Ya”. (sambil jalan lagi dengan cueknya, seperti biasa… ngomong dulu baru mikir)

Padahal gue nggak pernah dapet pelatihan atau sejenisnya.

Ok, Dita… berpikir… berpikir….

Oh…

Dia ngasih pelajaran dari protesnya terhadap kesalahan gue,
dari keluhannya atas orang lain,
dari celaannya pada sikap atau pikiran oknum-oknum tertentu,
dari cerita kegembiraannya setelah idenya mendapat persetujuan petinggi-petinggi institusi,
dari keinginannya untuk meluapkan apa yang terendap di kepala dan hati.
Tapi yang sangat tidak kasat mata adalah…
dia ngasih pelajaran
dari kebutuhannya berbicara.

Dia butuh sharing, dan gue serap semua itu untuk pelajaran gue.

Saturday, August 27, 2005

(Nggak) Lupa

Suatu hari di penghujung bulan September, tahun 2003.
Gue nelpon sobat gue tersayang, Monik.
"Monik!! Selamat ulang tahun! Selamat ulang tahun!!"
"Dita!! Terima kasih!! Terima kasih!!"
"Di mana lo?"
"Di stasiun UI. Lagi nunggu kereta sama Ibor"
"Oh! Lagi ngapain dia?"
"Lagi bengong. Karena ada yang ngucapin selamat ulang tahun ke gue ... SEBULAN KEMUDIAN"

Gitu deh. Selain gue buta peta dan suka nyasar jalan, gue juga pelupa. Dulu temen-temen seapartemen suka nandain, kalo gue pergi, mereka akan menghitung mundur. Tiga.. dua... satu... dan pintu terbuka lagi, gue masuk. "HP gue ketinggalan, hehehee". Atau "Buku yang tadi mo gue bawa mana yah?"

Salah satu obyek kelupaan gue adalah ultahnya orang-orang terdekat. Beneran deh, bukan karena nggak sayang. Tapi karena gue pikir kasih sayang dan perhatian nggak hanya diungkapkan di hari ulang tahun. Huahahaha... ngeles!!

Suatu malam, temen-temen menculik gue untuk makan di Kelapa Gading. Waktu itu gue masih tinggal sama kakak gue. Kakak gue yang workaholic belom nyampe rumah. Gue nelpon untuk minta ijin, telpon doi tidak aktif. Jadi gue titip pesen aja ke asistennya di rumah kalo gue makan di luar.

Seperti biasa, kalo udah ketemu sama temen-temen hebohnya jadi luar biasa. Chit chat sana sini rame udah kayak pasar. Tiba-tiba HP gue bunyi, dari kakak di rumah.
"Dek, lo di mana?"
"Kelapa Gading"
"Ama siapa?"
"Anak-anak kampus"
"Pulang kapan?"
"Maleman lah. Lo kan tau kalo ketemuan sama mereka pasti nggak puas cuman sebentar"

Tiba-tiba, salah satu temen gue teriak.
"Mas Aryoooo! Happy Birthday!!!"
Degg!! Happy Birthday?? Tanggal berapa sekarang??
Gue langsung ngalangin tempat masuknya suara di handset HP.
"Ya ampun, gue lupa hari ini dia ulang taun!"
"Maaas..! Si Dita lup.."
"Ssssttt!"

Trus gue ngomong lagi ke doi via HP.
"Dapet ucapan tuh Mas, dari semua temen gue yang lagi di sini"
"Oh, iya... makasih semuanya"
"Mau dibawain apa? Buat kado ulang tahun?"
Hehhee, gue gengsi mo bilang met ultah, terlanjur ketebok lupa.

Cerita lupa gue berlanjut.

Suatu malam, nyaris tengah malam, di bulan September 2003, Monik telpon-telponan sama Yanti.
M : Si kecil udah telpon?
Y : Belom. Tapi gue nggak heran. Ultah kakaknya aja lupa."

Monik SMS.
"Dit, hari ini Yanti ultah tuh!"
Gue bales.
"Waks, OK!"
Dita SMS Yanti.
"Yan, met ultah ya.... belom telat kan?"
Yanti bales.
"Belom. Masih jam 23.50 kok"

Naninaninaaaa...

Beberapa hari lalu, gue disms bos gue.
"Ana ultahnya akhir Agustus kan? Tanggal berapa ya?"
"Waduh. Nggak inget, gue"
"Oh iya. Kok gue nanya elo ya, yang ultah aja bisa kelupaan sebulan"
Yeeeee....

Sebenernya nggak ngucapin selamat ulang tahun tepat pada waktunya bukan lantaran gue lupa (...doang). Tapi ada banyak hal. Dulu gue mo telpon Visi pas jam 00:00, eh gue ketiduran. Gue mo telpon Ezra pas jam 00:00 eh gue salah nyimpen no HPnya. Gue mo telpon Adi pas jam 00:00 eh telponnya gak diangkat (lagi pacaran tuh, gue tau). Yang selalu sukses perasaan cuman ke Ibor, 'sodara kembar' gue yang sekarang jadi suami Monik.

Tanggal 26 Agustus ini, Monik ulang tahun. Gue inget banget, sumpah inget banget. Malah dari tanggal 25 gue udah sms temen2 gue untuk bikin surprise dengan mendadak muncul di rumah Monik. Tapi rahasiain ke Monik yah. Temen-temen mau-mau aja. Gue kongkalingkong sama Ibor, jangan sampe Monik tau rencana ini. Ibor setuju.

Di hari H, gue nggak muncul di rumah Monik. Kerjaan keparat nahan gue untuk nggak datang. Temen-temen pada sms-in gue nanya kapan gue dateng. Tapi gue nggak jawab. Soalnya HP tua gue koit (nokia 6510 kesayangan gue, tapi sama bokap dan tukang reparasi HP udah dicela-cela suruh dibuang). Gue jadi orang terakhir, hari itu, yang ngucapin selamat ultah, via telpon pula - setelah gue nyampe rumah.

Di kala semua temen murka gara-gara gue udah ngumpulin umat tapi gue sendiri nggak muncul, si Monik malah maklum. 'Paling Dita lagi kejebak kerjaan'. Hiks, thanks ya Nik, jadi gue nggak perlu bikin pengakuan dosa. Sebaliknya, yang bikin pengakuan dosa kali ini malah Monik. Soalnya dia ternyata udah tau kalo mo ada surprise, lantaran salah satu anak yang gue hubungin udah duluan cerita ke Monik, "Eh, si Dita kan mau bikin surprise buat elo, tapi dia pesen jangan sampe elo tau". Yeee..... dasar!!

Thursday, August 25, 2005

Take It or Leave It

Gue terbiasa kerja frilens (tulisan bahasa inggrisnya : freelance). Kadang dapet order, kadang rindu order. Kadang kerja gila-gilaan, kadang nyengir doang sambil mengkilatin kuku. Makanya, kata Oneng-nya Bajuri, salah satu tokoh lugu di sitcom ngetop Indonesia (hehe..), "frilens ntu... artinya KAGAK JELAS".

Hayo, yang ngaku pekerja frilens, ucapannya Oneng bener ato nggak? NGGAK?? Ah, masa?? Situ bukan pekerja frilens ya? (maksa). Diragukan deh. Soalnya, yang ngantornya pasti aja suka sambil bete ngaku ...'kerjaan gue nggak jelas nih'.

Contohnya salah satu kenalan, yang di tahun-tahun belakangan nggak puas sama kantornya. Katanya, kantornya dikorupsi lah, salah management lah, boros, nggak menghargai karyawan, dan gaji nggak naik-naik (lupa dalam berapa taun). Dia bertekad keluar. Tapi harus secara dipecat. Biar dapet pesangon. Aksi yang dia lancarkan adalah sering bolos, sering telat, sering lewat deadline tugas.

Lalu dipecatkah dia? Tidak. Kenapa? Dia sendiri juga nggak tau. Beberapa temen pernah ngingetin dia, kalo tu perusahaan juga pinter, mereka nggak mau ngeluarin pesangon. Kasarnya ucapannya gini: Jangan nunggu minta pesangon, keluar ya keluar aja luh!

Akhirnya bukan pemecatan dan pesangon yang dia dapet, tapi justru teguran keras sana sini dan sangsi untuk nyelesain tugas yang keteter. Yah, sama aja dong.

Iseng gue tanya, 'Emang lo yakin kantor lo bisa ngasih pesangon?'. Eh, dia nggak yakin. Soalnya ya itu tadi, salah manajemen. Jadi kantor jatuh miskin. 'Orang-orang yang mundur duluan dapet pesangon gede,' kata dia. Nah! Kalo gitu keluar aja sekarang! Dia nggak mau, karena kalo mundurnya sekarang, cuman dikasih salam dan senyum.

Jadi salah pilih waktu gitu? Hehehe, salah sendiri. Ya udah, yang lewat jangan disesali.

'Nyesel, gila. Pesangon tu berarti banget! Jadi sekarang gue nunggu perusahaan bangkrut aja', kata dia.

'Lo tau, kapan kantor lo bangkrut?' Nggak tau. 'Nah, kalo nggak bangkrut juga gimana?' Dia yakin tu kantor suatu saat bangkrut. Hmm... suatu saat ya? Secara kasat mata, kantornya masih beroperasi, dagangannya masih diserap pasar. Kenyataannya, sampe sekarang dia nggak dipecat juga demi pesangon. Kenyataannya, dia masih nikmatin asuransi kesehatan dari kantor yang dia pakai buat anak-anaknya.

Ini mah, sama aja kayak ngomongin telor sama ayam duluan mana.

'Nggak dong. Program gue jelas. Nunggu dipecat, dapet pesangon, trus ngelunasin utang-utang'.
'Tapi lo nggak yakin kantor lo bisa ngasih pesangon?'
'Nggak, makanya gue bertahan jadi karyawan di sana'

Jadi telor sama ayam duluan mana?

Sebenernya, kalo tujuannya ngelunasin utang, dia bisa aja kerja di tempat lain. Dia sendiri udah ambil kerja sampingan. Tapi lagi-lagi dia nggak puas. Entah bayarannya nggak sepadan, atau dia yang ngerasa nggak bisa-bisa. Yang jelas, dia udah setahun lebih njalanin kerja sampingan dengan status frilens itu. Lama juga ya, untuk sebuah kerja sampingan yang dia nggak puas dan merasa nggak bisa.

Usil ya gue ngomongin orang ini? Hahaha... sebenernya ini lagi ngomongin gue, lagi. Kebetulan gue lagi terlibat kerjaan sama doi. Uhuhuhu... capek lahir batin bow. Lantaran kerjaan doi nggak kelar-kelar, koordinasi susah didapat, frekuensi pikiran sulit sama, dan setelah beberapa lama, keluar deh curhat-curhatnya soal utang dan kantor miss management. Hehehe, gue juga pernah beberapa kali kerja di perusahaan hampir bangkrut, tapi gue cepet ambil sikap. Gue pergi dan nemuin tempat kerja lain di mana gue nggak perlu bete tiap hari.

Gue sih nggak peduli kalo rekan kerja gue jadiin kerjaan ini sebagai sampingan. Yang gue peduli, kalo berani bilang mau ngambil kerjaannya (dan honornya, hehhee), ya berani ambil resiko kerjanya dong. Kalau diminta serius dan komit, ya serius dan komit.Kalo nggak bisa, tinggalin aja. Tapi... tawaran gue untuk ngambil alih kerjaan dia (daripada nggak kelar-kelar, pas jadi salah pula, dan nama gue yang dipertanyakan) ditolak. Mau pake cara paksa, nggak bisa, karena kekuasaan itu bukan dipegang gue, dan keputusannya adalah jangan dioper.

Akhirnya, jalanin lagi. Koordinasi tetep sulit. "Anak gue sakit, kalo dia nangis rasanya kepala gue pengen pecah". Hmmm... no comment. Gue tau kondisinya emang begitu. Gue nggak berani bawel soal itu. Secara gue juga belom berkeluarga, gue takut kualat dan ketulah nantinya. Tapi masak gue harus ikut pusing sama hal yang bukan bagian gue? Kerjaan ini gimanaaaaa??

Ini dia satu lagi ke-nggakjelas-an kerjaan gue. Sewaktu-waktu bisa dapet partner yang bikin sport jantung dan kerja dobel. Take it or leave it... ternyata nggak segampang ngomongnya. Ato mestinya gampang, tapi kita terus terikat ke pertimbangan ini itu yang remeh tapi kita pusingin terus makanya jadi sulit? Tuker tempat yuk. Mau??

Monday, August 22, 2005

Uji Fisik Otak Mental

Sebuah project dengan tiga bos dan masing2 concern-nya.
Partner kerja dengan 1001 alesannya
Garis mati.. garis mati…
(deadline maksudnya)
Huh
Alhamdulillah ada bantuan luar
Meski kecil tapi bisa meringankan
Paling nggak sebelom mati beneran
Warning : Ini bukan puisi

:p

Sunday, August 21, 2005

Penulis Industri


Penulis yang terjebak di dunia industrialis. Menulis berdasarkan pesanan. Saban hari nulis apa yang harus ditulis, bukan apa yang pengen ditulis. Uahh… begah. Capek.

Cuman daripada nyesel, mendingan dibawa asik. Gimana nggak asik. Eksplorasi ide dengan batasan-batasan kehendak klien. Susah-susah gampang. Ibarat pengen goyang ke kiri, tapi langsung ditarik lagi ke tengah. Coba, gimana caranya supaya goyang absurd itu keliatan menarik?

Asik dua… bisa kerja dari rumah. Meski artinya listrik, telpon, i-net, depresiasi harga laptop dan depresiasi kesehatan fisik dan mental mesti ditanggung sendiri.

Asik tiga… snowballing network.

Asik empat… terima honor :)

First Posting

Uhuhuhuhuu...

Akhirnya punya blog juga. Ayo bikin selamatan!

Tadinya ini blog mau dikasih nama 'buburayam', makanan favorit sejak kecil, dan makin jadi favorit karena :
- sekarang tukang bubur makin banyak, buburnya juga enak2 *slurup* ... dan bersedia nunggu di depan rumah ngarep dibeli :)
- murmer
- bubur ayam makin variatif perabotannya (taburan di atasnya itu lho), jadi kalo bosen sama perabotan satu, tinggal ganti perabotan lainnya.
- gampang mbuatnya. tinggal rebus beras. (iya, tapi perabotannya itu yg susah nyediainnya :p)

Tapi....

Ternyata nama buburayam udah ada pemiliknya, sodara2! Mana sih orangnya? Suka bubur ayam juga ya? Boleh dong, dibagi...

Jadi...

Akhirnya gue milih nama sendiri aja. Narsis narsis deh. Kali ntar ceritanya juga agak2 narsis. Biarin. Bukankah orang dilahirkan untuk memilih satu di antara dua... jadi Narsis, ato Narsis Banget?? (beginilah teori dari kepala berisi otak serupa bubur ayam).

Terakhir, blog ini gue persembahkan buat gue sendiri (narsis gitu loh) dan orang-orang yg sudi mbacanya... termasuk si Abang.