Friday, December 31, 2021

Before and After Liver Cancer Surgery (Part 1 - She Diagnosed with Cancer)

Sebelumnya mau menegaskan, yang operasi kanker liver adalah nyokap gue. Dan gue mau menceritakan hal-hal yang mengesankan gue before and after operasi. 

Nyokap reseksi alias pemotongan liver di Desember 2021, di usia ke-68. Volume liver yang dipotong dan diangkat cukup besar, sekitar 10x11x11 cm. Alhamdulillah operasi berjalan lancar, dan saat ini nyokap insyaAllah sehat.  

Cerita ini panjang. Jadi gue potong-potong jadi beberapa bagian. Untuk bagian pertama ini gue mau cerita soal awal diagnosis kanker. 

Di tahun 2012, saat itu gue belum terlibat soal kesehatan nyokap, hasil general check up nyokap mengungkap kalau beliau kena fatty liver. Ini kondisi di mana organ hati diselimuti lemak, dan efeknya kerja (atau fungsi) organ tak akan maksimal. Asal tau saja, hati atau liver punya 500an fungsi. Ini di antaranya

Setelah itu nyokap abai dengan kesehatannya. :( 

Tahun 2021, saat pandemi, gue lihat perut nyokap melembung kayak balon. Kalau ditekan-tekan pelan, rasanya seperti di dalamnya ada air. Akhirnya gue bawa nyokap ke dokter. Dokter menyebut ini namanya ascites atau asites, yaitu kondisi perut membesar secara tak normal akibat penumpukan cairan dalam rongga perut. 

Umumnya asistes muncul ketika ada sirosis hati. Setelah serangkaian uji lab, benar-benar ketahuan kalau nyokap gue kena sirosis hati. Ini kondisi di mana organ hati mengeras. Jika fatty liver menyebabkan hati tak maksimal menjalankan fungsinya, maka sirosis hati menyebabkan hati tak bisa menjalankan fungsinya. 

Bahaya kan? Secara fungsi hati itu ada 500 macam untuk tubuh kita. Kalau hati nggak berfungsi, lantas gimana? Ya sakit lah.  

Ada beberapa sebab timbulnya sirosis.

  • Suka minum-minum alkohol dalam periode panjang - kerja hati jadi super berat, bisa jebol. 
  • Kena hepatitis - ini akibat infeksi virus hepatitis. Bisa kena hepatitis karena pas imunnya rendah eh terpapar virus ini.  
  • Fatty liver - organ diliputi lemak sehingga kerja nggak maksimal dan akhirnya mengeras kayak batu lalu berhenti berfungsi (untuk bagian yang mengeras). 

Tiap pasien berbeda-beda penyebabnya. Untuk nyokap, hasil lab menunjukkan non-virus. Nyokap juga gak minum alkohol. Jadi kemungkinan besar penyebabnya ya fatty liver itu. 

Fatty liver penyebabnya karena apa? Kadar kolesterolnya tinggi. Dengan kondisi ini, kalau makanannya gak dijaga ya makin besar lah peluang kena fatty liver. Udah gitu nyokap jarang olahraga. Dan mungkin stress juga ya. 😐

Dari hasil USG, dokter menyatakan kondisi sirosis nyokap adalah 40% dari keseluruhan liver-nya. Jreng! Nyokap shock. Eh dia sempat-sempatnya nanya sisa umur. Mom, please. Umur seseorang kan nggak ada yang tau. Cuman karena nyokap penasaran, dokter akhirnya menjawab kalau orang yang kena sirosis hati rata-rata sisa umurnya 5 tahun, dihitung dari saat ketahuan. 

(note: Belakangan gue tau, dari penjelasan dokter yang lain, kalau kesimpulan "5 tahun lagi" itu adalah data empirik, dari penelitian di Eropa/Amrik - gue lupa. Itu penelitian juga diadakannya berapa puluh tahun lalu. Respondennya ratusan orang. Penelitannya jangka panjang, bertahun-tahun. Berarti peneliian super mahal itu. Makanya belum diulang lagi).

Nyokap sedih berat. 

Yang nyokap nggak tau adalah - apa yang dia kira sakitnya "hanya" sirosis hati, sebenarnya sudah jadi kanker. Tapi dokter nggak bilang satu katapun bilang soal kanker. 

Gue ngeh sakit nyokap ini kanker setelah menghubungi sodara yang dokter juga di rumah sakit lain. Si sodara ini dokter spesialis jantung, tapi pasti paham lah baca data lab pasien sirosis. Dia bilang, sirosis itu udah bisa dianggap kanker. Yes, kanker. Gue nggak salah denger, dan sampai memastikan 2-3 kali. Gue langsung nangis, sodara-sodara! 

(note: Belakangan gue tau, dari penjelasan dokter lain lagi - gue banyak kulakan ilmu dari dokter2 jadinya - bahwa sirosis itu bukan kanker. Tapiiiii hati yang mengeras alias sirosis itu adalah lahan yang disukai sel kanker untuk tumbuh. Makanya pasien sirosis hati mesti ekstra awas, kalau bisa dipantau terus, kali aja suatu saat kankernya tumbuh karena sudah ada lahan yang disukai). 

Gue galau. Jika nyokap kena kanker, kenapa dokter nggak bilang satu kata pun soal kanker? Gue merasa nyokap mestinya dapat treatment ekstra. 

Singkat cerita, akhirnya nyokap dibawa ke rumah sakit kelas A. Nyokap diopname kurang lebih seminggu. Dilakukan serangkaian tes lab ulang. Dari cek darah, endoskopi, sampai fibroscan. Ada juga cek psikiatri - yang hasilnya cukup mencengangkan karena nyokap diindikasi depresi. 

Waktu itu nyokap masih juga belum tau kalau dia kena kanker. Dokter di RS yang baru ini menyampaikan diagnosis soal kanker hanya di depan gue dan abang gue, tanpa ada nyokap gue. 

Jujur, saat dokter bilang nyokap kena kanker, gue dan abang gue udah siap mental. Soalnya sebelumnya ada "senior" dari keluarga pasien kanker yang sharing soal kanker - dan saat itulah gue dan abang gue nangis (lagi) ngebayangin sakitnya nyokap, juga kemungkinan kehilangan nyokap. Alhamdulillah setelah puas nangis perasaan jadi lebih lapang, lebih siap nerima diagnosis dokter, dan lebih bisa mikir mesti melakukan apa aja setelahnya.

Next - Is Liver Surgery a Must? Is There Any Other Way to Cure Her?