Friday, February 17, 2012

Writer's Block dan Ide Tulisan yang Terlepas

Meski penulis rentan pada sakit ginjal, punggung dan mata (hiyaaah), tapi penyakit paling menakutkan buat para penulis adalah writer's block. Apa sih bahasa Indonesianya? Mati ide kali yah? Pokoknya nggak tau lah mesti nulis apa. Biar udah nongkrong di depan laptop, tetap aja tulisan nggak keluar-keluar.

Beberapa tahun lalu, kalau gue writer's block, gue akan stay di depan laptop. Saking takutnya ide itu tiba-tiba muncul dan gue harus segera menuliskannya, gue sampe nggak berani beranjakdari depan laptop, kecuali buat sholat, makan atau ke kamar mandi. Bos gue sampe sebel liatnya. Dia sampe ngusir gue, nyuruh jalan-jalan, nonton, atau apa lah. Tapi dasar gue tambeng, gue tetap stay di depan laptop. Nge-game, browsing, chating, sampai akhirnya bisa lanjut menulis sampai kelar.

Sekarang kalau kena writer's block lagi, gue lebih berani untuk pergi dari depan laptop. Malah berani keluar kota segala. Hahahaa. Perjalanan keluar kota banyak ngasih gue ide dan pengalaman untuk bahan tulisan. Pulang-pulang, siap buat nulis lagi.

Perubahan cara ini mungkin karena pengalaman juga. Coba yang ini, nggak berhasil, coba yang itu.

Cara lain ngatasin writer's block adalah ketemu orang. Chating doang nggak cukup. Harus ketemu orang. Ngobrol apa aja. Ada beberapa temen gue yang kalau ngobrol begitu JLEB. Dari mereka, gue dapat pencerahan. Nggak cuman pencerahan mesti nulis apa, tapi juga cara bersikap sebagai pekerja (penulis) lepas.

Ide Tulisan yang Terlepas

Soal ide tulisan yang terlepas, kondisinya begini: sudah punya ide tulisan, tapi nggak bisa nulisnya, atau nggak bisa menyelesaikannya karena nggak ada waktu atau alasan lain. Tulisan kan kita tinggalin tuh. Pas balik lagi ke tulisan itu, kita berharap akan bisa nerusin. Eeeh, ternyata nggak bisa! Kita kehilangan jejak, mau dibawa ke mana tulisan ini???

Ada tips dari Ekky Imanjaya untuk mengatasi hal ini. Kalau punya ide tulisan, catat temanya dan kenapa ini penting ditulis? Insya Allah kalau tau kenapa penting, kita jadi punya tujuan yang lebih jelas untuk nyelesain tulisan itu. Setelah itu boleh deh tulis poin-poinnya. Jangan lupa, untuk non fiksi, catat di mana kita bisa dapetin informasinya. Jadi pas kita balik lagi ke tulisan yang belom jadi itu, kita udah tau apa pentingnya tulisan itu sampe harus kita tulis, dan kita mesti baca buku apa, nanya siapa, atau apa lah untuk data-data di tulisan itu.

Itu tips dari Mas Ekky yang penulis non-fiksi. Kalau tulisan fiksi gimana? Sepanjang yang gue tau dan praktekin sih tulis poinnya dulu. Jadi pas ninggalin tulisan itu kita merasa aman, karena ada inventaris ide lanjutan yang tertulis di sana.

Kalo ternyata balik-balik tetap kehilangan jejak mau nulis apa, gimana? Banyak-banyaklah istighfar, berdoa, olah raga, berinteraksi, beramal, membaca, nonton, mendengar, melihat, serta merasa... hehehe. Silly but true!

Supaya Tulisan Kita Dimuat di Media Cetak

Tulisan yang diterima redaksi media cetak tentunya tulisan yang bagus. Standar bagusnya apa? Bacalah media yang kita tuju. Pelajari tema apa yang mereka terima, bagaimana gaya bahasa mereka. Bikin tulisan dengan ide yang keren. Di link ini ada tulisan tentang gimana cara mendapatkan ide. Lalu tulislah ide itu dengan uraian yang asik. Kemampuan menemukan ide dan menulis yang asik itu bisa didapat dari latihan, latihan, dan latihaaaan sampe jadi ahli.

Ekky Imanjaya, kolomnis yang juga dosen, ngasih tips, kalau mau tulisan diterima, sok akrab-lah sama redaksinya. 

Artinya sok akrab tuh gini, kalau kenal sama redaksinya, akan relatif lebih mudah memasukkan tulisan. Ini bukan nepotisme. Di dunia tulis menulis, kalau udah kenal sama redaksinya bisa dibilang si redaksi juga udah kenal karya kita. Hasil tulisan kita. Jadi dia bisa langsung menilai. Oh, si anu mah tulisannya bagussss! Jadi peluang dimuat lebih besar (inget ya, peluang lebih besar, bukan pasti dimuat).

Kenal sama redaksi juga bikin kita makin berani menawarkan langsung ke si redaksi. Kalau bisa japri (jaringan pribadi) ya japri aja. Cari aja email japri si redaktur dari media cetak tersebut, atau internet.

Sebagai bekas wartawan, Mas Ekky punya teman-teman yang sekarang sudah jadi redaktur bahkan pemimpin redaksi. Nah, para redaktur itu bahkan suka menelpon Mas Ekky untuk pesan tulisan. Kebetulan mereka tahu kalau Mas Ekky itu hobi nonton film, sering ke festival-festival film luar negeri, sering bikin resensi, bahkan pernah bikin film pendek sendiri. Jadi mereka pikir Ekky adalah orang yang tepat untuk menulis soal film. Selain itu, karena sering traveling, Mas Ekky juga menulis artikel jalan-jalan. Nah, garis bawahi ini. Milikilah spesialisasi.

Spesialisasi membuat para penulis mudah diingat ketika redaksi membutuhkan tulisan untuk rubrik tertentu. Untuk mencapai itu perlu waktu dan proses. Nggak instan. Tapi supaya konsisten, coba caranya Mas Ekky. Sugesti diri. Kalau kamu salut sama seseorang yang besar karena karyanya (buku, artikel, film, dll), bilang "Suatu hari, saya akan seperti dia." It works buat Mas Ekky.

Mau coba? Yuk. Bikin supaya coba-cobanya jadi keterusan! :))

Cara Mendapatkan Ide Tulisan

Awalnya adalah IDE.

Salah satu sebab tulisan jadi menarik adalah ide yang unik, atau nggak biasa. Soalnya banyak hal terjadi di sekitar kita, dan sebagian besar ya persoalan itu lagi itu lagi, tapi apa yang luput dari pengamatan orang lain namun menarik untuk ditelaah? Singkatnya, ide tuh penting banget.

Tulisan ini memuat tips tentang "cara mencari dan menangkap ide" dari Mas Ekky Imanjaya, seorang dosen, blogger, kolumnis, musisi, dan pengamat film yang jadi pemateri di kelas Akademi Berbagi hari Rabu, 15 Februari 2012. Biar gue makin nyambung sama bahasan ini, sebagian gue tambah2in dari pengalaman sendiri.

Contoh ide nih. Waktu Mas Ekky sekolah di Belanda, dia melihat banyak sekali kata-kata Belanda yang mirip kata-kata Indonesia. Misal: bestek (bistik), te laat (telat). Ternyata kata-kata itu diserap bahasa Indonesia sehingga jadi bahasa kita. Nah, sebaliknya, di Belanda itu juga ada kata-kata serapan bahasa Indonesia. Misal : Sambal Oeloek (sambal uleg) dan banyak lagi.

Untuk beberapa orang, mungkin fakta itu biasa. Atau dikomentarin "Ih lucu yaaaaah". Tapi untuk Mas Ekky, ini begitu menarik, sensasional (halah) dan layak ditulis jadi artikel. Maka Mas Ekky mencatat semua kata-kata bahasa Belanda yang mirip bahasa Indonesia, lalu baca banyak referensi, maka jadilah sebuah artikel untuk Tempo berjudul "Dari Te Laat sampai Klaar".

Tapi biar sensitif sama ide tuh gimana caranya? Ya mesti banyak wawasan. Pengetahuan mesti luas. Nambah wawasan tuh bisa dengan membaca dan terus banyak baca. Cara lain adalah ngobrol, nonton film, pergi ke suatu tempat dan rasakan apa yang berbeda. Be a good observer. Kalau sudah merasakan sesuatu yang berbeda, cari referensi untuk memperkuat. Yaaah, baliknya ke membaca lagi. :)

Ada lagi ide tulisan Mas Ekky yang berangkat dari fenomena bahasa Alay ala cemunguuudhh kk. Tau nggak sih kalo ke-alay-an itu terjadi di setiap generasi? Namanya beda-beda. Dulu pernah ada bahasa binan, "Apose Cyiiin". Di tahun 80an ada bahasa ala Catatan Si Boy, "bokap nyokap lo ke rokum gout." Nah, bisa nggak tuh dirangkum dan jadi tulisan keren?? Faktor pengalaman pribadi berperan di sini (secara pas tahun 80an, mas Ekky udah jadi remaja, hahahaa). Tapi semua itu juga bisa didapatkan dari riset. Aware dulu, trus baca, nanya, dst.

Kalau udah punya ide, jangan biarkan ide itu lepas. Ide mesti ditangkap di buku catatan atau recorder. Kalau perlu dibawa aja tuh buku atau recorder ke mana-mana. "Tapi kalau naik kereta yang rame jangan sampe dikira gila karena ngomong sendiri sama recorder," kata Mas Ekky.

Ide tulisan buat media cetak tuh mesti punya nilai berita tinggi. Mesti aktual (hangat), punya sesuatu yang baru, atau unik. Unsur aktual berkaitan dengan apa yang sedang terjadi di sekitar kita.

Kebetulan kemaren kan lagi hangat masalah Tabrakan Maut di Tugu Tani dengan korban 10 jiwa, si penabrak ternyata lagi ngefelay berat. Trus ada pilot yang tertangkap lagi nyabu. Terakhir diva internasional Whitney Houston meninggal, gosipnya over dosis narkoba. Nah, dari rentetan kejadian itu, APAnya lagi (hal baru) yang mau ditulis??

* Efek narkoba secara medis? Udah sering muncul di media.
* Unsur human-interest tentang korban-korban tabrakan maut? Udah banyak media yang nulis.
* Setelah dua hari tanpa ekspresi lantaran masih terpengaruh narkoba, apa yang terjadi pada pelaku tabrakan maut setelah efek narkobanya hilang? Nangis sampe 2 hari kah dia? Stress kah dia?? Nulis sesuatu nggak untuk mengungkapkan perasaannya?? Adakah yang membuat artikelnya dari sudut psikoanalisa? - Mas Ekky sendiri belum tau udah ada yang menulis artikelnya atau belum. Tapi menurut Mas Ekky, ini suatu IDE baru dari rentetan peristiwa tersebut.

Kalau gue boleh kaitkan ke ilmu jurnalistik... yang dimaksud Mas Ekky ini adalah... ANGLE atau sudut pandang.

Ide dari Kalender

Maksudnya, be aware sama momen-momen rutin yang terjadi tiap tahun. Valentine di bulan Februari. Hari Kartini di bulan April. Peringatan Peristiwa Semanggi di bulan Mei. Hari Kemerdekaan Indonesia di bulan Agustus dll. Kembali ke soal angle, secara momen itu setiap tahun pasti ada yang nulis, HAL APA LAGI yang bisa diangkat jadi ide tulisan? Baliknya ke be a good observer yang udah disebut di atas lagi. Banyak baca, dengar, lihat (gue ulang terus biar inget).

Kalender yang dilihat jangan cuma kalender biasa. Ada yang namanya kalender budaya. Ada pertunjukan seni apa? Ada konser apa? Ada dialog budaya apa? Ada pameran apa? Siapa aja yang tampil? Siapa penyelenggaranya? Dan banyak lagi potensi ide di sana.

Mas Ekky ngasih contoh lagi soal konser. Dia nonton Konser Van Hallen. Lalu dia menawarkan artikelnya tentang konser itu ke media cetak. "Artikel konser yang ditulis oleh orang yang tidak menonton, sama orang yang menonton langsung... feel-nya pasti beda. Artikel konser yang ditulis oleh orang yang cinta banget sama yang lagi konser itu, dibanding artikel konser yang ditulis sama orang awam, pasti beda," kata Mas Ekky.

Yang ngefans berat sama musisi konser itu mungkin punya banyak ide untuk dituangkan. Namun bukan berarti yang nggak cinta jadi nggak punya bahan menarik untuk ditulis. Siapa tahu pas lagi nonton konser musik rock, sebelah kita pelawak Aming. Nah, orang-orang yang nggak disangka suka musik cadas juga bisa jadi ide (atau angle) tulisan.

Gue mau nambahin contoh. Semester lalu sebagian mahasiswa gue bikin tugas akhir berupa majalah musik. Topiknya konser. Di majalah itu, tulisan yang mereka turunkan antara lain tentang ritual artis besar tentang konser, band indie yang jadi pembuka konser Paramore, tips nonton konser biar aman tentram, dan bagaimana meng-organize konser. Nah, dari ngomongin kalender aja, ternyata bisa nyambung-nyambungin ke ide tulisan tentang konser. Dari satu kata "konser" aja bisa jadi banyak ide.

Jadi gitu deh caranya cari ide. Cara-cara ini nggak saklek. Bisa dikembangin lagi kok pake cara-cara kita sendiri. Ayo cari ide lagi. And do it with fun!

Thursday, February 16, 2012

Yuk, Nulis Artikel

Siapa yang nggak senang kalau tulisan artikelnya dimuat di media massa? Bisa nampang nama, dapet honor pula. Tapi gimana caranya nulis artikel yang bisa dimuat di media massa??

Mas Ekky Imanjaya, seorang dosen, pengamat film, kolumnis, musisi, dan (gue curiga) stand up comedian karena lucu banget, bagi-bagi ilmu tentang itu di Akademi Berbagi Jakarta, 16 Februari 2012. Di tulisan ini gue ceritain apa yang mas Ekky share.

Awalnya, untuk menulis harus punya dorongan dari dalam. Dorongan yang kuat sampai kita pengen menyampaikannya lewat tulisan. Apa aja pendorong itu??

Ada yang bilang : GALAU (lihat presiden kita, lagu yang dia tulis bisa sampai 4 album). Ada juga yang bilang untuk mengabadikan ide, berbagi informasi atau menstrukturkan kerangka pikir. Terus, di mana kita nulis? Kalau jawab buku tulis, itu belum kuno-kuno amat lho, terutama untuk nulis orat oret draft. Tapi kebanyakan manusia sekarang nulis di laptop, HP, bahkan komputer tablet.

Nah, setelah tulisan jadi, bisa dikirim ke media massa. Biasanya majalah atau koran. Kalau belum percaya diri dengan hasil tulisan sendiri, ya unggahlah ke blog pribadi, situs umum (yang kebanyakan nirlaba tapi yg penting dimuat).

Pada dasarnya, semua media cetak menerima tulisan. Asal sesuai dengan visi, misi dan gaya bahasa. Misalnya, nggak mungkin nulis tentang Valentine di majalah Sabili. Nulis tentang Valentine buat Majalah Gadis oke, buat majalah Tempo juga bisa, tapi sudut pandang dan bahasa tuturnya tentu beda.

Banyak rubrik yang bisa dituju penulis lepas. Ada rubrik opini, kolom, resensi, esai, artikel populer dan artikel ilmiah-populer (artikel ilmiah tapi bahasa asik dan tanpa catatan kaki). Kalau mau menulis buat salah satu rubrik, pelajari dulu rubrik itu. Baca-baca, sampe kira-kira tau yang dimau sama redaksi itu kira-kira apa?

Nah, setelah tau apa yang dimau media massa, bikin deh tulisan. Tapiiii... nulis apa?? Tenaaaang... Gue bahas di tulisan berikutnya. Cekidot!!