Teringat Bu Menteri Susi Pudjiastuti yang lagi hits. Ijasah cuman SMP, tapi punya perusahaan
ekspor lobster dan sebuah maskapai. Diliat sejarahnya, awalnya Bu Susi keluar dari SMA, terus jadi pengepul ikan. Dia konsekuen, konsisten, ulet, punya modal
dengkul, plus pake insting dan otak. Nah, anak muda yang gue temuin secara kebetulan
ini sepertinya punya modal dengkul yang sama.
Meski nasib belum tentu sama, tapi boleh lah gue cerita tentang anak muda ini.
Meski nasib belum tentu sama, tapi boleh lah gue cerita tentang anak muda ini.
Sebut aja namanya Novan. Umur 23 tahunan. Gue liat dia naik mikrolet
yang sama dengan gue, tapi dia naik dari Pasar Gembrong (pasar khusus mainan anak yang harganya murah bingits). Bawaan si Novan lumayan
banyak. Satu plastik hitam ukuran kantong sampah besar yang ternyata isinya
mainan-mainan anak. Kok beli mainan anak sebanyak itu? Iya, buat dijual lagi di
depan SD di Rawamangun, pake pikulan, kata cowok itu.
Sepuluh tahun Novan jualan mainan anak. Awalnya nggak jualan
sendiri, melainkan menjualkan barang dagangan orang. Dan itu berarti dia start di
usia 13 tahun! *inget-inget, gue umur 13
tahun itu SMP kelas 2, mainan tinggal minta ortu dan dibeliin*. Setahun menjualkan dagangan orang lain, dia pun paham cara dagang, cara cari
pasar, dan cara belanja (milih barang dan nawar). Lalu dia memberanikan diri untuk dagang
sendiri.
Permodalan dan keuntungan
Modal awalnya diambil dari tabungan sendiri. Cukup buat beli
5 macem mainan murahan dikalikan masing-masing selusin di Pasar Gembrong. Murahan di sini dalam arti harganya Rp.1000 – 3000. Jangan
lebih dari itu, karena harga jual eceran dia maksimal 5000. “Buat anak SD di
tempat saya jualan, mainan anak 5000 itu udah mahal. Belum lagi kalau
ibu-ibunya yang beli, nawarnya sadis!”
Jual mainan itu gampang-gampang susah. Meski Novan sudah punya
tempat asongan di depan sebuah SD, bukan berarti perdagangannya aman 100 persen.
Dari selusin mainan yang dia beli, paling yang habis cuman setengahnya. Paling
banter 10 biji deh. Dari yang terbeli, ada kalanya ternyata rusak, jadi pembelinya
minta tukar.
Udah gitu, risiko barang rusak muncul karena Novan juga
dagang keliling. Mainan-mainan yang dibawa ke sana sini bisa aja jadi rusak.
*gak dibawa ke sana sini juga bisa rusak kok Mas*.
Mainan-mainan yang nggak laku diapain? Dikumpulin. Ntar sebulan
sekali, atau berapa lama sekali deh, dia obral. Misalnya, 20ribu dapat 3. Paling
nggak, Novan nggak numpuk barang kelamaan. “Dagang ada perhitungan, ada
spekulasi. Bisa untung, bisa rugi” kata dia.
Selama Novan berdagang, modal yang kembali dia putar lagi. Caranya,
seminggu sekali dia belanja di Pasar Gembrong. Dan setiap belanja ya sekantong sampah
besar itu.
Soal keuntungan, katanya habis buat biaya hidup sendiri. Buat makan
dan bayar sekolah. Yup, SMA malam. *salut*. Sedangkan buat uang makan,
alokasinya sehari dua kali makan. Biasanya beli sarapan di warung dengan air
minum yang banyak, siang nggak makan, malam baru makan lagi. Atau pagi beli
sarapan, siang makan, malam minum air putih. *gue harus lebih bersyukur, bisa makan
sehari tiga kali, di luar cemilan kelas berat*.
Trus Novan ngasih duit ke ortu nggak? Dengan sedih dia
menggeleng. Buat dia aja ngepas! Orang tuanya emang jarang minta
uang ke dia. Tapi pernah juga mereka minta. Dikasih? Nggak. Cuman setelah itu
dia kepikiran. Akhirnya besoknya dia kasih deh ortunya uang. Konsekuensinya,
dia puasa. “Habis gimana lagi, saya mesti nabung buat bayar sekolah,” kata dia.
Perjalanan mikrolet makin jauh dari tempat awal. Penumpang
mulai berkurang satu per satu. Seorang bapak berusia 60tahunan yang dari tadi memperhatikan
kami akhirnya angkat bicara.
“Kamu udah berapa tahun jualan mainan anak?” tanya dia ke
Novan.
“Sepuluh tahun, Pak.”
“Saya 30 tahun. Udah paham banget liku liku jualan mainan
anak,” ujarnya bangga. Wah, pedagang mainan anak juga? Setelah gue liat-liat,
ternyata bungkusan besar di pojok mikrolet itu bawaan dia.
Si Bapak ini bangga karena dengan jualan mainan, dia bisa membiayai keluarga. Anak pertama dan keduanya sekarang kuliah, yang ketiga alias bungsu masih SMA. Kata dia, dagang itu bisa untung asal nggak macem-macem. Judi misalnya. Haaah?
Si Bapak ini bangga karena dengan jualan mainan, dia bisa membiayai keluarga. Anak pertama dan keduanya sekarang kuliah, yang ketiga alias bungsu masih SMA. Kata dia, dagang itu bisa untung asal nggak macem-macem. Judi misalnya. Haaah?
Awas anak-anak rentan judi
Judi??? Iya. Novan bilang, teman-teman seumurnya yang juga
jualan mainan anak banyak yang ngeblangsak. Gara-garanya nggak kuat iman.
Begitu dapet duit, beli narkoba, atau judi. Kesenangan sesaat. Bisa jadi karena
pengen cepat lepas dari beban hidup yang berat.
Awas ya, jangan judi! Ancam si Bapak. Novan buru-buru
menggeleng. Dia nggak judi. Syukurlah. Lalu si Bapak juga ngancem, jangan bikin
anak-anak berjudi. Waduh, gimana lagi tuh??
Jadi gini… ada aja pedagang mainan anak yang menggelar papan
penuh nomor, lalu anak-anak SD akan bertaruh di nomor yang mereka kehendaki. Lalu
dadu dikocok sampai ada 2 kombinasi angka. Kombinasi itulah yang keluar sebagai pemenang. Kalo ada anak yang naroh uang di angka itu, anak itu pun dapat hadiah mainan! Yeay!
Wait! Pake uang? Yes. Gopek. Tapi kalikan berapa anak tuh
yang naroh gopek di tiap nomor yang dikehendaki. Dan kalikan berapa sesi? Dari sisi pemasukan pedagang mainan, cara
ini menguntungkan. Banyak duit masuk. Mainan yang direlain juga cuman 1 di tiap sesi. Masalahnya, dari sisi anak, mereka jadi terdidik buat judi. Ngeri gak siiiiiih??? Awas makanya.
Maaf. Ini jadi melenceng ya ceritanya. Tadinya mau beberin perjuangan
orang dagang, malah jadi ngomongin pendidikan judi sejak dini (*ketok2 meja*). Ya udah mah… Ati-ati aja semuanya
ya. Yang mau usaha yang bener, tetep ulet dan semangat, dan jangan ngajarin
yang nggak-nggak ya. InsyaAllah berkah.
1 comment:
Subhanaallah
Post a Comment